Bismillaahirrahmaanirrahiim
Assalamualaikum wr. wb
“Saat semangat salik terhenti karena merasa telah sukses, maka suara kebenaran berseru padanya: apa yang kau cari masih di depanmu”
“Dan tiada keindahan dunia tampak pada salik, kecuali suara hakikatnya berkata: kami hanya fitnah, maka jangan kau tertipu”
CATATAN: “Salik” artinya orang yang berjalan. Maksudnya orang
yang berjalan dan berusaha untuk sampai ke hadirat Allah dan mengenal-Nya.
Di sini Ibnu Athaillah mengarahkan kajian di bab ini,
sebagai peringatan untuk orang yang mengaku telah dekat dengan Allah, telah
wushul/sampai ke hadirat-Nya, telah jadi wali Allah, dan lain-lain. Pengakuan
semacam itu biasanya disertai menunjukkan kesaktian, kehebatan, dan hal-hal yang
luar biasa. Ini sungguh amat bahaya. Bahaya bagi si pelaku, dan lebih bahaya
lagi bagi orang-orang awam yang mudah percaya dengan klaim-klaim murahan
semacam itu.
Sungguh, betapa sering kita dapati berita orang yang
mendadak sakti, lalu mendadak keramat, banyak orang mengunjunginya. Para
pengunjung berharap hajatnya segera terkabul, penyakitnya segera sembuh,
hutangnya segera lunas, dan lain-lain. Dan, seringkali orang yang mengaku sakti
dan bisa melihat alam gaib itu pun akhirnya berbuat nista, dipenjara, dimassa, dan
lain-lain.
Maka di sini Ibnu Athaillah memberikan petunjuk pada orang yang
mudah mendaku jadi wali prematur seperti itu. Hikmah ke-20 ini mengajari tiap
Salik agar tak mudah tertipu jika memang dikaruniai suatu keajaiban oleh Allah.
Ibnu Athaillah mengajak tiap Salik untuk konsis pada ajaran al-Quran dan Hadis,
agar tak mudah terperosok pada jurang kenistaan. Maka, Ibnu Athaillah
me-warning tiap salik dengan kalam hikmah di atas. Baik, mari kita segarkan
kembali wejangan beliau:
Hikmah pertama
“Saat semangat Salik terhenti karena merasa telah sukses, maka suara kebenaran berseru padanya: apa yang kau cari masih di depanmu”
Artinya, seorang
Salik harus terus konsisten beribadah dan beramal karena Allah sesuai petunjuk
Syariat-Nya. Jangan sampai semangat ibadah dan amalnya terhenti hanya karena ia
merasa telah sampai pada Allah, telah mengenal Allah, dst. Karena pada
hakikatnya, orang yang merasa sampai pada Allah itu belum sampai, orang yang
merasa hebat itu belumlah hebat. Maka Ibnu Athaillah mengingatkan: “Apa yang
kau cari masih di depanmu. Kejar terus. Jangan berhenti. Kau belum sukses.”
Untuk lebih memudahkan pemahaman, mari kita masuk pada
contoh kasus saja. Zaid, misalnya, sebelumnya adalah orang bejat, jarang salat,
tak pernah puasa, doyan miras oplosan, judi, pacaran, dan lain-lain. Suatu hari
ia dapat hidayah lalu tobat. Sejak itu ia rajin salat, puasa, sedekah, baca
Quran, giat bekerja dengan baik, dan lain-lain. Kita tahu, sebelumnya Zaid ini
terpedaya oleh syetan dengan bujuk rayu melakukan berbagai keburukan. Tapi
setelah Zaid tobat dan jadi orang saleh, tak berarti syetan berhenti
mengganggunya supaya ia kembali sesat. Syetan tetap menggoda Zaid, tapi tidak dengan
cara yang sama seperti dulu, namun dengan cara lain yang sesuai dengan keadaan
Zaid kini.
Kini syetan membisiki Zaid:
“Lihatlah dirimu, hai Zaid. Tidakkah dulunya kau orang yang
paling bejat bergelimang dosa?”
“Tidakkah dulu kau suka mabuk, jarang salat, rajin judi.
Tapi setelah tobat, kau jadi orang yang paling saleh sekarang.”
“Ya, kini kau rajin
salat, rutin puasa, sedekah dan banyak kebajikan lainnya. Tahukah kau, kini kau
sudah jadi wali Allah!”
“Sedang di sekitarmu,
kau lihat, betapa banyak orang yang bejat, mereka orang-orang terlaknat. Mereka
amat jauh levelnya dengan kamu.”
Begitu bisik syetan pada Zaid, untuk menipu dia supaya
hatinya jadi GR, sombong, berbangga diri, meremehkan sesama, dan lain-lain. Jika si Zaid tertipu oleh bujuk rayu syetan
ini, maka Zaid akan kembali jatuh ke jurang kenistaan seperti sedia kala.
Bahkan, kini Zaid akan jadi lebih nista daripada sebelumnya, karena ujub
(berbangga diri) adalah penyakit kronis yang amat bahaya. Jika Zaid sampai
terbujuk rayuan syetan ini, maka terhapuslah amal kebaikan yang selama ini ia
lakukan. Ia pun kembali nista.
Jadi, obat mujarab apakah yang bisa menyelamatkan Zaid dari
bisikan syetan dan tipu dayanya semacam itu? Obat yang diperlukan Zaid itu
adalah petuah Ibnu Athaillah yang kita kaji kini. Bacalah kembali bisikan
syetan di atas.
Yakni, Zaid harus bilang pada syetan yang berusaha
memperdayanya tadi: “Apa lo bilang? Guwe udah deket dengan Allah?”
“Kau bilang aku udah jadi orang paling saleh, udah mengenal
Allah dan jadi wali-Nya? Omong kosong!”
“Hei syetan, gimana bisa aku sudah sampai pada hadirat Allah
dan jadi wali-Nya, sedang keadaanku masih seperti ini?”
“Aku masih suka teledor. Modalku hanya salat beberapa rakaat
itu. Puasa di hari-hari tertentu. Ibadah sunah sekadarnya”.
“Udah gitu, salatku masih jauh dari sempurna. Sama sekali
tak khusyuk. Kayak gitu kau sebut aku wali Allah?!”
“Maka sungguh, apa yang kucari dan kuharapkan masih jauh ada
di depan. Ridha Allah masih harus aku kejar untuk kuraih.”
Nah, dengan demikian Zaid akan selamat dari rayuan syetan dan
makin semangat beramal. Karena Zaid merasa masih belum sampai pada Allah, maka
jika biasanya ia hanya sebatas salat wajib, ia akan tambah dengan salat sunah.
Jika biasanya ia hanya sebatas puasa bulan Ramadan, maka ia akan tambah dengan
puasa-puasa sunah, rajin baca al-Quran, dst.
Jika biasanya tak pernah bangun untuk salat malam, maka ia
berusaha melawan malas dan kantuk untuk bersimpuh di hadapan-Nya. Dan, semakin
seorang hamba rajin beribadah dengan ikhlas, ia akan makin mengenal dan
merasakan keagungan Allah. Jika sudah mengenal Allah dan merasakan
keagugan-Nya, maka ia akan makin merasa teledor dalam memenuhi hak-hak Allah.
Perasan teledor dalam memenuhi hak-hak Allah akan bikin seorang hamba makin
semangat beribadah dan menambah amal kebaikan. Maka, usaha memenuhi hak-hak
Allah dengan terus menambah ibadah dan kebaikan akan ia lakukan tanpa henti,
hingga ajal menjemputnya.
Lalu, bisakah pemenuhan hak-hak Allah oleh seorang hamba
bisa tuntas sebelum ajal menjemputnya? Jawabannya: tidak bisa!
Tidak bisa! Tak ada seorang pun yang bisa memenuhi hak-hak
Allah dengan tuntas, lalu dianggap ‘lunas’ dan tak berhutang kepada Allah.
Bahkan seorang Nabi pun tak bisa. Bagaimana bisa seorang hamba akan membalas
segala anugerah dan pemberian Allah?!
Jika misal berucap “alhamdulillah” dianggap memenuhi hak
Allah yang wajib disyukuri atas anugerah nikmat-Nya. Maka renungkan: siapa yang
menciptakan lisan itu? Siapa pula yang memungkinkan Anda untuk bisa berucap
“alhamdulillah” itu? Jadi mestinya, ketika Anda bersyukur dengan berucap
“alhamdulillah”, syukur Anda itu juga wajib Anda syukuri. Karena “bersyukur”
itu juga anugerah dari Allah. Begitu seterusnya, hingga hak-hak Allah takkan
bisa Anda penuhi dengan tuntas.
Begitu pula dengan amal yang lain. Anda bisa salat, puasa,
zakat, haji, itu semua anugerah Allah. Bukan atas kemampuan Anda sendiri. Maka,
ketika seorang hamba semakin banyak beribadah kepada Allah, berarti makin
banyak pula anugerah Allah untuknya. Ketika seorang hamba makin dermawan, maka
semakin banyak pula anugerah Allah yang dicurahkan untuknya. Karena Allah yang
memberi ia keluasan rezeki, Allah pula yang melapangkan hatinya untuk
bersedekah, Allah pula yang bikin ia ikhlas. So, jika anugerah Allah pada
seorang hamba makin banyak, maka ia makin tidak mampu untuk memenuhi hak-hak
Allah, untuk bersyukur, dan lain-lain.
Jika seorang hamba sudah memahami hakikat ini, maka
bagaimana mungkin ia bisa sombong dan berbangga diri? Bahkan hamba yang
mengenal Allah, mengenal keagungan-Nya, anugerah-Nya, pasti akan makin rendah
hati dan makin banyak amal. Adapun hamba yang merasa sudah sampai pada Allah,
mengenal Allah, lalu amalnya makin menyusut, pasti ia belum mengenal Allah.
Uraian untuk hikmah bagian pertama selesai. Mari beralih
pada uraian bagian kedua sebagai berikut:
“Tiada keindahan dunia tampak pada Salik, kecuali suara hakikatnya berkata: kami hanya fitnah, maka jangan kau tertipu.”
“Keindahan dunia yang tampak pada seorang Salik” di sini
bisa berarti dua hal:
1) Salik jadi kaya berkelimpahan,
2) Tampak pada Salik rahasia-rahasia alam, hingga ia bisa
melakukan sesuatu yang tak bisa dilakukan orang kebanyakan: sakti
Nah, dua keadaan ini bisa menjadi celah syetan untuk
memperdaya hamba yang sedang berjalan menuju Allah, untuk mendekat kepada-Nya. Bahwa ada hamba yang ketika fokus ibadah pada
Allah, melakukan amal-amal kebaikan, ia justru dimudahkan dalam urusan
rizkinya. Meski tak bekerja seperti lumrahnya kebanyakan orang, ia justru
mendapatkan banyak income dari arah yang tak diduganya. Lancar.
Nah, jika orang ini mengambil pelajaran dari wejangan Ibnu
Athaillah di atas, maka ia akan terus fokus ibadah dan beramal. Meski uang
terus mengalir padanya, hatinya tak bergeming, karena ia tahu “uang itu hanya
fitnah, hanya ujian, jangan tertipu”. Namun
sebaliknya, jika ia tak mengambil pelajaran dari hikmah Ibnu Athaillah ini,
maka ia mudah silau oleh banyaknya uang. Karena rajin ibadah lalu banyak tamu,
banyak dapat uang tanpa kerja, maka hatinya jadi berbunga-bunga, fokus
ibadahnya buyar. Orang yang tertipu semacam ini awalnya rajin ibadah karena
Allah, kini malah rajin ibadah agar uang makin lancar. Jadinya hancur. Demikian
uraian tentang “keindahan dunia” yang tampak pada Salik dalam arti “materi”,
keluasan rezeki, atau banyak uang.
Kini mari kita beralih pada uraian tentang “keindahan dunia”
yang tampak pada Salik dalam arti mengetahui rahasia-rahasia alam/jadi sakti. Bahwa
ada orang yang rajin ibadah kpada Allah, dengan beragam ibadah, lalu tanpa
dinyana ia bisa menguasai berbagai hal ajaib. Setelah istikamah ibadah,
tiba-tiba orang ini bisa berjalan di atas air, atau terbang di udara, dan
kesaktian semacamnya. Nah, jika orang ini mengindahkan petuah Ibnu Athaillah di
atas, maka ia tak akan silau sama sekali dengan kehebatan-kehebatan itu. Dengan
beragam kesaktian yang kini ia miliki, ia akan terus konsisten dalam ibadah dan
amal kebaikannya. Ia akan terus rendah hati, tak hirau akan kesaktian itu,
karena tahu “semua itu adalah fitnah, ujian, maka jangan tertipu”. Sebab, bisa
saja kesaktian itu hanya siasat syetan untuk memperdaya hamba yang tengah
berjalan menuju makrifat pada Allah. Syetan berusaha memalingkan fokus ibadah
si hamba tadi, dengan memungkinkannya terbang, berjalan di air, dan semacamnya.
Jika si Salik/hamba tadi hatinya tertipu dengan kesaktian yang
kini ada padanya, maka buyarlah fokusnya, hancur istikamahnya. Ia malah jadi
fokus pada kesaktian- kesaktian nya itu, bahkan memanfaatkan kesaktian- kesaktian
itu untuk menyedot pengaruh khalayak. Bisa jadi setelah itu ia banyak muridnya,
banyak pasiennya, banyak tamunya, dan hatinya pun jadi kotor oleh semua itu. Ibadah
yang ia lakukan kini sudah keruh, tidak ikhlas karena Allah, tapi untuk
menajamkan kesaktian, supaya makin hebat dan keramat.
Maka di sini, al-Buthi menuntun kita untuk bisa membedakan
orang sakti yang tertipu syetan dan kesaktian sebagai karamah dari Allah. Al-Buthi
mengatakan: jika kita dapati orang ahli ibadah yang sakti, maka kita lihat dia
dari sisi Syariatnya. Jika fokus orang itu pada kesaktiannya, mengumbar
kesaktian supaya banyak penggemar dan abai pada ibadah dan Syariat, berarti
kesaktian orang itu berasal dari syetan. Ia telah terpedaya oleh syetan hingga
abai pada Syariat Allah.
Jika orang sakti itu malah berusaha menyembunyikan
kesaktiannya dari khalayak, tak hirau dan tak silau akan kesaktian itu. Bahkan
ia tetap fokus bimbing umat agar rajin ibadah, beramal sesuai Syariat;
mengatakan bahwa kesaktian tidak penting. Berarti kesaktian itu karamah dari
Allah. Jadi Syariat-lah yang membedakan kesaktian dari syetan dan karamah dari
Allah.
Demikian Hikmah-20
Wassalamualaikum wr.wb
Terima kasih telah membaca artikel Terjemah Al Hikam 20 - Dan Tiada Keindahan Dunia Tampak Pada Salik, Kecuali Suara Hakikatnya Berkata: Kami Hanya Fitnah, Maka Jangan Kau Tertipu, diijinkan untuk menyalin semua yang ada di wastripedia, untuk disebarluaskan.