Bismillaahirrahmaanirrahiim
Assalamualaikum wr. wb
Al-Buthi membagi kalam hikmah Ibnu Athaillah ini menjadi 4
bagian tema, agar pembahasan topiknya lebih terarah. Mari dibahas satu-persatu
Bagian pertama dari tema kalam hikmah ini yaitu,
“Permintaanmu kepada Allah menunjukkan ketidak-percayaanmu pada Allah”.
Jika dianalogikan, posisi seperti ini layaknya orang yang
sedang khawatir. Khawatir takut tak kebagian jatah atau khawatir tidak diberi. Memposisikan
diri sebagai peminta—apalagi kepada Allah, seakan-akan tak percaya akan belas
kasih Allah. Tak percaya jika Allah Maha Pemberi. Maka buanglah jauh-jauh
persepsi salah semacam itu. Yang harus dikedepankan adalah yakin dan mantapnya
hati kepada Allah.
So, jangan pernah ragu pada kekuasaan Allah. Ayat-ayat
al-Quran dan Hadis Nabawy banyak sekali menyinggung hal ini. Kisah Nabi Ibrahim
bisa mewakili hal ini. Konon, setelah memporak-porandakan tuhan-tuhan berhala
Raja Namrud, Nabi Ibrahim hendak dibakar. Saat api kayu bakar telah membara
hebat dan Nabi Ibrahim siap-siap dilempar kearah api tersebut, beliau saat itu
malah tenang-tenang saja. Lalu apa yang beliau lakukan? Nabi Ibrahim malah
berdoa yang artinya, cukuplah Allah
pemberi nikmat dan pelindungku.
Kata-kata Nabi Ibrahim ini tentu mengherankan. Di detik-detik
menegangkan dan nyawa sudah diambang mata beliau tak minta pertolongan pada
Allah. Nabi Ibrahim malah pasrah dengan keadaan dan menyerahkan segala hal yang
akan dialaminya nanti kepada Allah. Beliau dalam kepasrahan total. Nabi Ibrahim
percaya bahwa Allah sudah tahu keadaan dirinya. Allah pasti lebih tahu pada apa
yang semestinya dilakukan! Allah Maha Tahu.
Keadaan inilah yang menyebabkan Nabi Ibrahim tak bisa
memohon pertolongan kepada Allah. Keyakinan hati beliau membuat mulut kaku dan
kelu. Disini, kekuatan iman Nabi Ibrahim teruji. Beliau lolos dari ujian maha
berat Raja Namrud. Iman beliau lebih kokoh dari tembok terkuat pun. Sikap Nabi
Ibrahim ini anti-tesis dari hikmah tadi, “Permintaanmu
kepada Allah menunjukkan ketidak-percayaanmu pada Allah”.
Tapi yang paling inti dari kesemuanya tadi adalah nilai dan
kualitas ibadah. Bahwa ibadah Nabi Ibrahim tadi lebih tinggi ketimbang ibadah
biasa. Sebab Nabi Ibrahim memperlihatkan totalitasnya hanya untuk Allah semata.
Ibadah semacam ini disinggung dalam QS 26:73-79.
( 73 ) atau (dapatkah) mereka memberi manfaat kepadamu atau memberi mudharat?"
( 74 ) Mereka menjawab: "(Bukan karena itu) sebenarnya kami mendapati nenek moyang kami berbuat demikian".
( 75 ) Ibrahim berkata: "Maka apakah kamu telah memperhatikan apa yang selalu kamu sembah,
( 76 ) kamu dan nenek moyang kamu yang dahulu?,
( 77 ) karena sesungguhnya apa yang kamu sembah itu adalah musuhku, kecuali Tuhan Semesta Alam,
( 78 ) (yaitu Tuhan) Yang telah menciptakan aku, maka Dialah yang menunjuki aku,
( 79 ) dan Tuhanku, Yang Dia memberi makan dan minum kepadaku,
Ibnu Athaillah menambah: “Jangan
pernah berpersepsi pemberian Allah adalah hasil permintaanmu, sebab itu
menunjukkan kedangkalan akalmu,”
“Tapi jadikanlah
permintaannmu sebagai sarana aktualisasi nilai ibadahmu pada Allah. Ibadah yang
dilakukan adalah untuk menyembah Allah saja.”
Kita pindah ke tema berikutnya,
“Permintaanmu agar Allah semakin dekat denganmu, menunjukkan dirimu merasa jauh dengan Allah”.
Maksudnya, buat apa meminta-minta agar Allah semakin dekat dengan
kita, padahal Allah sangat dekat dengan kita. Allah tak pernah terhalang dari
kita. Yang jadi problem disini sebenarnya adalah diri kita. Buat apa
minta-minta agar Allah makin dekat? Apakah Allah jauh dari kita?
Lalu apa penyebabnya? apakah karena kita merasa terhalang dari
Allah? Ini butuh penjelasan yang sedetail-detilnya, agar tak ada keraguan. Kata
al-Buthi, yang menyebabkan kita terhalang dari Allah adalah diri kita sendiri.
Terhalang disini punya arti khusus. Maksud terhalang tidak seperti kita terhalang
pintu, yang lalu bisa terlihat jika pintu itu dibuka. Kita merasa terhalang
karena kadang kita menguaskan diri dalam kesombongan. Sombong adalah sifat
manusia paling berbahaya. Sifat sombong membuat kita ini seperti ada di dalam
ruang yang sangat gelap. Tak ada sinar matahari, apalagi lampu yang menerangi.
Tak bisa melihat postur dan fisik tubuh kita, apalagi benda-benda
dan orang-orang disekitar kita. Mata kita telah dibutakan oleh keadaan yang
gelap itu. Maka satu-satunya solusi adalah membuang sifat sombong tadi. Keluar
dari sikap keras kepala dan fanatisme yang menguasai hati. Berjuanglah kawan...
Tema ini hampir mirip dengan topik kalam hikmah ke-16 dulu.
Mari kita lanjut ke tema berikutnya,
“Memintamu pada selain Allah, menunjukkan sedikitnya rasa malumu pada Allah".
Maksudnya, saat meminta apapun saja jangan pernah memohon
pada selain Allah. Banyak orang yang salah persepsi dalam hal Ini. Banyak orang
yang merasa tertipu dengan keindahan dunia. Merasa bahwa yang bisa membuat hati
tenang adalah kenikmatan-kenikmatan dunia. Semuanya serba wah..
Inilah yang kadang membuat hati keras, sombong bahkan
mendorong hati untuk menolak takdir. Dengan artian rasa malunya hilang dari
dirinya. Jika hal ini dibiarkan, bisa-bisa dikemudian hari ia akan lancang
kepada Allah. Bisa jadi ia akan menentang Allah, Tuhan yang menciptakannya.
Sebab, kata al-Buthi, menentang Allah tak harus orang-orang yang
benci tuhan. Tak harus jadi ateis yang tak mau tuhan. Kita juga bisa jadi
pembangkang. Tapi orang-orang yang sudah mengenal Allah, mengakui ke-esaan-Nya dan
yakin pada Allah pasti akan membuang jauh-jauh pikiran semacam ini. Bagi
mereka, menyembah Allah bukan untuk mengharap balasan dikemudian hari, apalagi
untuk mengharap nikmat surga. tidak... Mereka menyembah dan beribadah pada
Allah adalah sebagai bukti pengakuan ketuhanan Allah. Bahwa hanya Dialah tuhan yang
berhak disembah.
Ini teraktualisasikan dalam pola ibadah yang dilakukan
Rabiah al-Adawiyah, tokoh sufi perempuan paling populer dimasanya. Konon, suatu
ketika saat Rabiah berzikir, beliau berdoa:
“Ya Allah, sungguh aku menyembah-Mu bukan karena takut pada
neraka-Mu,”
“Aku menyembah-Mu
bukan karena mengharap surga-Mu. Tapi aku menyembah-Mu karena hanya Engkaulah
satu-satuNya tuhan yang berhak disembah”.
Sungguh indah pengabdian Rabiah ini ya. Merasakan manisnya
ibadah dan merdunya berzikir atau hal lain yang berhubungan dengan Allah.
Tema terakhir,
"Memintamu pada selain Allah, menunjukkan bahwa dirimu jauh dari Allah".
Hikmah ini konotasinya lebih pada keyakinan/akidah kita. Berhati-hati
dan waspadalah selalu dalam hal ini. Disini, kata al-Buthi, kita harus tahu
bahwa sikap manusia itu terakumulasi dalam dua posisi: itiqad/keyakinan dan
Suluk/menuju ibadah. Dalam konsep keyakinan akidah kita, meminta-minta pada
selain Allah adalah perbuatan syirik. Sebab berarti menyekutukan Allah dengan yang
lain. Konsekuensinya, bisa-bisa jadi murtad. Jika sudah demikian masalahnya
tambah makin pelik. Literatur-literatur tauhid banyak menyinggung ini. Sedang
untuk posisi Suluk atau sedang meniti jalan menuju Allah, maka tidak seharusnya
meminta-minta pada selain Allah. Aturannya demikian.
Bagaimana mungkin suluknya akan sampai pada Allah jika
ternyata pikirannya menyimpang dari Allah. Hati dan pikirannya saling
berlawanan. Saat suluk, kehidupannya juga harus sejalan dengan aturan sebab-musabbab
Allah. Bahwa alam ini dicipta searah dengan tujuan yang Allah kehendaki.
Tujuan-tujuan yang ditetapkan Allah telah teraktualisasikan dalam
al-Quran dan Hadis Nabawy, yang kemudian jadi undang-undang Syariat. ikutilah
kata-kata Syariat. Demikian hikmah-21.
Wassalamualaikum wr.wb
Terima kasih telah membaca artikel Terjemah Al Hikam 21 - Permintaanmu Kepada Allah Menunjukkan Ketidakpercayaanmu Pada Allah, diijinkan untuk menyalin semua yang ada di wastripedia, untuk disebarluaskan.