Bismillaahirrahmaanirrahiim
Assalamualaikum wr. wb
"Tak akan gagal usaha yang kau sandarkan pada karunia Tuhanmu, dan tak akan mudah usaha yang kau sandarkan pada kemampuanmu sendiri"
Mari kita uraikan maksud dari hikmah ke-25 di atas secara
global terlebih dahulu.
Tidak akan gagal suatu usaha yang kau sandarkan pada
pertolongan Allah, menjauh dari praduga kemampuan dirimu sendiri. Sedang usaha yang
kau sandarkan pada praduga kekuatan yang ada pada dirimu sendiri, tak akan
ditolong oleh Allah.
Barangkali sementara kita kamudian timbul tanya: apa dan
dari mana landasan dari kalam hikmah Ibnu Athaillah ke-25 tersebut?
Jelas, landasan kalam hikmah Ibnu Athaillah ke-25 itu adalah
firman Allah dalam al-Quran dan hadis petunjuk dari Nabi SAW.
Antara lain ayat al-Quran:
Hai manusia, kamulah yang
butuh kepada Allah; dan Allah Dialah Yang Maha Kaya (tidak butuh pada sesuatu)
lagi Maha Terpuji. (QS 35/15)
Tentu, sifat fakir/butuh yang disandarkan pada manusia ini
bukan butuh pada sebagian sesuatu saja, tapi fakir/butuh secara total. Maka
dalam diam dan geraknya, makan dan minumnya, tidur dan terjaganya, dan
seluruhnya, manusia butuh pada Allah. Sedang kalimat yang diajarkan Nabi yang
merangkum seluruh penjelasan itu adalah : لاحول
ولاقوة إلا بالله
La haula wala quwwata
illa billah, artinya: tak ada daya
upaya dan kekuatan selain dengan Allah
Jadi segala hal yang kita upayakan tidaklah terlaksana dengan
kekuatan kita, tapi dengan daya-upaya dan kekuatan dari Allah. Inilah aqidah yang
harus kita yakini, bahwa manusia bisa bergerak, diam, tidur, makan, ibadah, dan
lain-lain semua karena qudariat/kuasa Allah. Kekuatan yang dimiliki manusia itu
murni berasal dari Allah secara langsung, bukan karena kekuatan yang dititipkan
pada diri manusia. Gambarannya seperti nyala lampu yang butuh pada aliran daya
listrik, bukan seperti robot yang bisa bergerak sendiri dengann batrai di
dalamnya.
Coba kita renungkan, pada saat-saat tertentu, kita ingin
melakukan sesuatu, tapi tak mampu melakukannya. Orang
stroke, misalnya, ia ingin bergerak namun tak bisa. Hal itu karena kehendak untuk
bergerak terputus dari qudariat Allah, artinya Allah tak menghendaki sebagian
tubuhnya untuk bergerak, sehingga bagaimanapun ia berusaha, ia tak akan bisa
bergerak. Memang, menurut
medis ada masalah pada syarafnya. Tapi pada hakikatnya, ia tak bisa bergerak karena
kehendak Allah terputus darinya. Maka sekali lagi, kita harus meyakini, bahwa
segala apa yang kita lakukan, semuanya bergantung pada kuasa dan kehendak Allah.
Lalu, hal positif apa yang bisa kita dapatkan selepas kita
memiliki keyakinan yang lurus semacam itu? Buah dari keyakinan itu adalah,
bahwa dengan demikian kita akan selalu ada ‘bersama’ Allah, tak pernah
terpisahkan dari-Nya. Maksudnya, dalam gerak dan diam kita, dalam seluruh
aktifitas kita, tak akan lekang dalam keyakinan bahwa kita butuh pada Allah. Kita
selalu yakin bahwa tanpa pertolongan Allah, kita tak akan bisa melakukan suatu
apapun, bahkan yang termudah sekalipun. Ketika kita bekerja, bedagang, ngantor,
beraktifitas sosial, politik, dan lain-lain, semua akan disertai keyakinan
butuh pada pertolongan Allah. Dalam semua itu, kita akan selalu ingat pada
Allah. Bagaimana tidak? Sedang kita yakin semua tak akan berguna tanpa kuasa
Allah?
Orang yang seperti ini, hati dan keadaannya akan menyiratkan
zikir: Yaa Rabb, tak ada daya-upaya dalam diriku, aku butuh pada-Mu. Nah, orang
yang keadaannya seperti ini, tentulah ia akan selalu damai, selalu ada dalam
‘kebersamaan’ dengan Allah.
Tapi selepas penjelasan di atas, mungkin sebagian orang
masih ada yang janggal, lalu menyangkal penjelasan di atas. Ah, masak seperti
itu? Buktinya aku belajar bertahun-tahun tanpa bersandar pada Allah, tapi tetap
sukses dan meraih ijazah? Nah, untuk kejanggalan seperti itu, Ibnu Athaillah
menjawabnya dari dua sisi.
Pertama, yang
dimaksud terhalang dari “pertolongan” (taufiq) Allah tak berarti terputusnya
kehendak Allah untuk membantu, akan tetapi yang dimaksud adalah, meski kamu
sukses, namun tanpa taufiq “pertolongan” Allah, kesuksesan itu tak ada nilainya.
Tanpa taufiq dari Allah, kesuksesan itu tak akan sampai pada tujuan haqiqi dari
belajar yang kau jalani bertahun-tahun itu, begitu pula dengan usaha-usaha lain
selain belajar, seperti bekerja, mengajar, bersosial, berpolitik, bernegara, dan
sebagainya. Tanpa taufiq (pertolongan) Allah, semua usaha tak bisa sampai pada
tujuan hakikinya, dan tak mengantarkan pada kebahagiaan sejati
Kedua, bahwa
kaedah agama yang disebutkan Ibnu Athaillah itu hanya berlaku bagi orang-orang yang
beriman pada Allah dan menjalankan syariat Islam. Adapun orang-orang yang
ingkar pada Allah dan tak menjalankan syariat-Nya, tentu tak ada kaitannya dengann
“taufiq”/pertolongan dari Allah. Yang berlaku bagi orang-orang kafir dan setiap
yang ingkar pada Allah adalah firman Allah seperti
Biarkanlah mereka (di
dunia ini) makan dan bersenang-senang dan dilalaikan angan-angan (kosong).
kelak mereka akan tahu (akibat perbuatan mereka)
atau firman Allah QS 3/97
Janganlah sekali-kali
kamu terperdaya oleh kebebasan orang-orang kafir bergerak di dalam negeri. Itu
hanyalah kesenangan sementara, kemudian tempat tinggal mereka ialah Jahanam;
dan Jahanam adalah tempat yang paling buruk.
Jadi kesimpulannya, hikmah Ibnu Athaillah ke-25 ini adalah
bagian dari adab Islam, yang hanya berlaku bagi muslim-mukmin, tak sempurna
keimanan seorang muslim, hingga ia yakin bahwa segala gerak-langkahnya terjadi
karena kuasa Allah. Keyakinan ini haruslah ada dalam tiap individu muslim dan
masyarakat muslim sekaligus, agar meraih kesuksesah hakiki, dunia akhirat.
Demikian Hukmah-25, semoga manfaat dan berkah.
Wassalamualaikum wr.wb
Referensi :
http://chirpstory.com/li/240084
Terima kasih telah membaca artikel Al Hikam 25 - Tak akan gagal usaha yang kau sandarkan pada karunia Tuhanmu, diijinkan untuk menyalin semua yang ada di wastripedia, untuk disebarluaskan.