Mas Sehat | Blog Tentang Kesehatan | Mas Sehat ~ Blog Tentang Kesehatan | www.mas-sehat.com

Recent Comments

Ngaji Hikam Bab 2 : Kehendakmu Untuk Tajrid Tatkala Allah Tempatkanmu Pada Status Asbab, Adalah Syahwat yang Tersembunyi




Assalamualaikum wr.wb.  

Ngaji Hikam Bab 2 : Kehendakmu Untuk Tajrid Tatkala Allah Tempatkanmu Pada Status Asbab, Adalah Syahwat yang Tersembunyi

Ibnu Athaillah berkata: 

“Kehendakmu untuk tajrid tatkala Allah tempatkanmu pada status asbab, adalah syahwat yang tersembunyi.” 

“Sedangkan kehendakmu pada asbab tatkala Allah menempatkanmu pada status tajrid, adalah kemerosotan dari cita-cita yang tinggi”



Hikmah ini berkisar pada 2 poros; yang 1 disebut “tajrid”, yang 1 lagi disebut “asbab”. Apakah arti dari dua kalimat itu? Kita selalu dihadapkan pada 2 keadaan ini, tajrid dan asbab. Maka penting bagi kita untuk mengilmui keduanya.

[1] seseorang mendapati dirinya tersandera oleh alam asbab (sebab-sebab dan perantara). Kemana dia bergerak, dia tidak bisa menghindar dari sebab-sebab dan perantara. Inilah yang disebut keadaan “asbab”.

[2] Seseorang mendapati dirinya terjauhkan dari pengaruh asbab; ia tidak memiliki jalan menuju asbab,

Keadaan ini disebut keadaan “tajarrud” atau “tajrid” (terlepas dari sebab-sebab dan perantara). Nah, tiap mukmin harus melihat status yang telah ditentukan Allah untuk dirinya, lalu dia beramal sesuai dengan status itu. Ia tidak boleh terburu mengikuti kemauannya sendiri tatkala menerapkan tatanan asbab atau tajrid dengan tanpa terlebih dahulu memperjelas keadaan dan posisi yang telah ditentukan Allah untuknya. Jika yang terjadi sedemikian halnya, maka sesungguhnya ia sedang menuruti kemauannya sendiri meskipun di permukaan tampaknya ia sedang menjalankan perintah Allah dan melaksanakan hukum-hukumNya.

Demikian arti hikmah BAB-2 ini. Namun mari kita uraikan hikmah ini melalui gambaran- gambaran dari peristiwa- peristiwa yang kita alami.

Seseorang yang diberi wewenang oleh Allah menjadi kepala rumah tangga, dengan seorang istri dan beberapa anak. Dengan demikian, dia telah diliputi sebab-sebab yang menariknya untuk mencari rezeki dan bekerja keras untuk memperoleh rezeki.

Bayangkan kalau orang ini berusaha naik pada tingkatan kesalehan dan ketakwaan, menuju tangga tauhid dan tawakal seraya berkata dalam hatinya: aku tidak perlu lagi ke pasar, tak perlu lagi bekerja keras untuk mendapatkan rezeki,  Karena aku yakin dengan firman Allah: Maka mintalah rezki itu di sisi Allah. (QS al-‘Ankabut [29]: 17). Aku akan melepaskan diri dari kesibukan duniawi, dari kesibukan di pasar, menuju ibadah kepada Allah. Lalu orang ini pun berhenti ke pasar, tak lagi bekerja dengan dalih bahwa ia akan menenggelamkan diri dalam lautan tauhid. Dia tak lagi berhubungan dengan sebab- sebab, karena ia telah memandang pada Dzat yang menciptakan sebab- sebab itu (Allah SWT)!

Maka orang ini adalah contoh yang pas untuk hikmah ke-2 Ibnu ‘Atha’illah ini, dan ia harus diperingatkan dengan hikmah itu. Kita katakan kepadanya: “Kehendakmu untuk tajrid tatkala Allah menempatkanmu pada status asbab, merupakan syahwat tersembunyi.”

Ia tampak sedang menerapkan sikap ketauhidan, namun hakikatnya ia sedang mengikuti hawa nafsunya. Kenapa begitu? Ya, karena Allah telah menempatkannya pada posisi asbab, sebagai kepala rumah tangga, maka mestinya ia bekerja. Itu perintah Allah. Tapi ia tak mau bekerja, malah ibadah terus untuk wushul pada Allah. So sejatinya ia sama dengan mengikuti nafsunya yang tersembunyi.

Orang macam ini telah berperangai buruk pada Allah, dengan memaksakan diri lepas dari tatanan-alam-Nya dan ketentuan-Nya. So bagi orang yang diposisikan dalam status asbab, bekerja itulah ibadahnya, bahagiakan kelurga itulah wiridnya. Menganggap ibadah terbatas pada amalan- amalan tertentu saja, sedangkan selain itu hanya urusan duniawi, adalah keliru fatal!

Seluruh perbuatan baik itu ibadah, jika dengan niat yang benar dan ikhlas karena Allah SWT. Hanya saja perbuatan baik juga melihat keadaan tiap orang dan tugas- tugas yang ditetapkan Allah pada masing- masing mereka. Maksudnya, tak semua perbuatan baik itu juga baik untuk semua orang. Kebaikan atau ketidak-baikan suatu perbuatan bergantung pada keadaan orang yang melakukan perbuatan itu, serta pada posisi yang telah ditentukan oleh Allah untuk orang itu.

Bagi orang yang kehidupannya oleh Allah dipisahkan dari relasi sosial, dijauhkan dari tanggung jawab rumah tangga, amal salehnya terwujud dalam ibadah personal yang faedahnya kembali pada orang itu saja.

Bagi orang yang oleh Allah ditempatkan dalam posisi penanggungjawab social politik, amal salehnya terwujud dalam melayani umatnya. Bagi yang bertugas menjaga perbatasan negara, amal salehnya adalah menjalankan tugas-tugas khususnya dengan ikhlas. Begitu seterusnya, dengan catatan kita tidak melupakan kewajiban pokok, seperti salat lima waktu, puasa, dll.

Selanjutnya, ada orang- orang yang oleh Allah dijauhkan dari keterhubungan dengan asbab (sebab-sebab dan perantara). Zaid, misalnya, tidak memiliki tanggung jawab apapun, terkait dengan istri, anak-anak, kerabat dan famili. Sementara ia telah memiliki bekal penghidupan yang cukup plus hal-hal pokok lain yang diperlukan. Dalam keadaan ini, si Zaid akan ditarik oleh dua kecenderungan yang bertolak belakang.
Kecenderungan pertama berkata: “Kini kamu telah memiliki sarana- sarana yang cukup untuk hidupmu. Kenapa kau tidak cukupkan dengan itu saja? Tinggalkan keinginanmu untuk menambah kekayaan dunia yang tidak kau perlukan itu, lalu waktumu kau gunakan untuk memperdalam pengetahuan agama, menjalankan ibadah dan melayani agama Allah SWT?”
Kecenderungan kedua akan berkata: “Bangkit dan carilah tambahan rezeki. Karena Allah membenci hamba yang menganggur. Dahulu Umar RA mendatangi para pengangguran di masjid dan memukuli mereka dengan tongkatnya.

Menurut Anda, apa yang seharusnya dilakukan orang ini (Zaid), dan seruan mana yang mestinya ia penuhi?

Nah, yang menjawab pertanyaan itu adalah bagian terakhir dari hikmah kedua Ibnu ‘Atha’illah tersebut, yakni:

“Kehendakmu untuk tajrid tatkala Allah menempatkanmu pada status asbab, adalah syahwat yang tersembunyi.”

Maksudnya, jika Anda hendak bermalas-malasan karena mengandalkan bekal penghidupan yang cukup itu; Anda makan, minum, tidur, senang- senang hingga mati, maka jelas itu ciri khas kehidupan binatang. Namun jika keterlepasan dari asbab itu membuat Anda fokus mengkaji agama Allah, terlepas dari kegiatan duniawi maka itulah jalan yang benar. Itulah jalan yang lebih layak bagi orang- orang yang berjiwa besar dan memiliki cita- cita tinggi.

Sebab memang Allah telah menempatkan Anda pada keadaan tajrid (terlepas dari sebab-sebab dan perantara) Maka ketimbang mengejar asbab yang oleh Allah dijauhkan dari Anda itu, lebih baik Anda menuju Allah yang ‘mengejar’ Anda.  Tentu dengan cara melayani agama-Nya, mempelajari syariat-Nya, atau fokus beribadah kepada-Nya. Jika orang yang dalam posisi tajrid itu membantah: “Bukankah bekerja itu juga ibadah?” Maka pikiran seperti itu hanyalah godaan dari setan saja. Itu adalah bentuk dari kemerosotan cita- cita yang tinggi.

Andai pikiran seperti itu benar, pasti kita akan menilai bodoh pada para pemuda yang belajar Islam di berbagai belahan dunia ini. Mereka bisa saja mengabaikan keadaan tajarrud yang ditetapkan Allah, dan memilih bekerja menumpuk kekayaan. Tapi faktanya mereka lebih memilih belajar dan beramal sesuai dengan keadaan tajarrud yang telah ditetapkan oleh Allah itu. Mereka bergegas menuju pesantren- pesantren di berbagai dunia Islam, fokus belajar dan beribadah. Tak bekerja sama sekali.

Selagi para pemuda itu oleh Allah belum diserahi tanggung-jawab urusan rumah tangga, urusan masyarakat atau politik maka kita mesti angkat topi terhadap mereka, dan menilai mereka sebagai barisan orang- orang Istimewa. Tapi jika seseorang oleh Allah telah diserahi tanggung-jawab urusan rumah tangga, urusan masyarakat, dll, lalu ia malah meninggalkan tugas penting yang telah ditetapkan Allah itu, lalu fokus ibadah atau malah pergi mondok, maka berarti ia telah menyalahi tatanan dan arahan Islam, menyalahi apa yang ditetapkan dan dibebankan Allah terhadapnya.

Maka, syariat adalah neraca yang bisa dijadikan ukuran untuk mengetahui keadaan setiap orang; apakah seseorang berada dalam keadaan tajarrud, terbebas dari asbab, atau sedang ada dalam keadaan terikat oleh asbab. Jika seseorang melangkahi neraca syariat lalu beralih mengikuti kecenderungan pribadinya sendiri berarti ia telah terjerumus pada “syahwat tersembunyi”, atau “merosot dari cita yang tinggi”.

Sekadar contoh: seorang ayah berkata pada anaknya, “Aku akan memenuhi segala kebutuhan hidup yang kau perlukan, kamu tak perlu bekerja, namun kamu harus fokus untuk belajar al-Quran dan mempelajari hokum- hukum syariat Allah.”

Dengan demikian, berarti Allah telah menempatkan anak itu dalam posisi tajrid, berdasarkan neraca syariat dan hukumNya. Maka, yang dituntut darinya adalah beramal sesuai dengan posisi yang telah ditetapkan oleh Allah ini. Ia harus fokus untuk mempelajari kitab Allah, hukum2 syariat-Nya, dan mendalami ilmu-ilmu agama. Anak ini tak perlu diceramahi soal perintah mencari rezeki, syariat melarang kamu menganggur, dll. Sebab perintah bekerja itu hanya bagi mereka yang punya tanggungjawab, dan kebutuhan hidupnya tak dipenuhi oleh siapapun. Adapun orang yang oleh Allah ditakdirkan ada penjamin kebutuhan hidupnya, maka tak boleh dikhotbahi dengan hukum syariat yang itu. Terlebih, anak muda dalam contoh di sini tidak sedang menganggur, akan tetapi beralih tugas dari usaha mencari rezeki yang sudah ditanggung ayahnya itu, pada usaha mempelajari ilmu syariat dan mendalami agama. Maka jika pemuda seperti ini masih memaksakan diri untuk berbisnis, berarti ia telah merosot dari cita-cita yang tinggi.

Sumber :
Kitab Al-Hikam Al-Athoiyah Syarh wa Tahlil
https://twitter.com/sidogiri
http://www.chirpstory.com/li/236201

Wassalamualaikum wr.wb.
Terima kasih telah membaca artikel Ngaji Hikam Bab 2 : Kehendakmu Untuk Tajrid Tatkala Allah Tempatkanmu Pada Status Asbab, Adalah Syahwat yang Tersembunyi, diijinkan untuk menyalin semua yang ada di wastripedia, untuk disebarluaskan.

Recent Posts :