Assalamualaikum
wr.wb.
Ibnu Athaillah berkata:
“Kehendakmu untuk tajrid tatkala Allah tempatkanmu pada status asbab, adalah syahwat yang tersembunyi.”
“Sedangkan kehendakmu pada asbab tatkala Allah menempatkanmu pada status tajrid, adalah kemerosotan dari cita-cita yang tinggi”
Hikmah ini berkisar pada
2 poros; yang 1 disebut “tajrid”, yang 1 lagi disebut “asbab”. Apakah arti dari
dua kalimat itu? Kita selalu dihadapkan pada 2 keadaan ini, tajrid dan asbab.
Maka penting bagi kita untuk mengilmui keduanya.
[1] seseorang
mendapati dirinya tersandera oleh alam asbab (sebab-sebab dan perantara). Kemana
dia bergerak, dia tidak bisa menghindar dari sebab-sebab dan perantara. Inilah
yang disebut keadaan “asbab”.
[2] Seseorang
mendapati dirinya terjauhkan dari pengaruh asbab; ia tidak memiliki jalan
menuju asbab,
Keadaan ini disebut
keadaan “tajarrud” atau “tajrid” (terlepas dari sebab-sebab dan perantara). Nah,
tiap mukmin harus melihat status yang telah ditentukan Allah untuk dirinya,
lalu dia beramal sesuai dengan status itu. Ia tidak boleh terburu mengikuti
kemauannya sendiri tatkala menerapkan tatanan asbab atau tajrid dengan tanpa
terlebih dahulu memperjelas keadaan dan posisi yang telah ditentukan Allah untuknya.
Jika yang terjadi sedemikian halnya, maka sesungguhnya ia sedang menuruti
kemauannya sendiri meskipun di permukaan tampaknya ia sedang menjalankan
perintah Allah dan melaksanakan hukum-hukumNya.
Demikian arti hikmah
BAB-2 ini. Namun mari kita uraikan hikmah ini melalui gambaran- gambaran dari
peristiwa- peristiwa yang kita alami.
Seseorang yang diberi
wewenang oleh Allah menjadi kepala rumah tangga, dengan seorang istri dan
beberapa anak. Dengan demikian, dia telah diliputi sebab-sebab yang menariknya untuk
mencari rezeki dan bekerja keras untuk memperoleh rezeki.
Bayangkan kalau orang
ini berusaha naik pada tingkatan kesalehan dan ketakwaan, menuju tangga tauhid dan
tawakal seraya berkata dalam hatinya: aku tidak perlu lagi ke pasar, tak perlu
lagi bekerja keras untuk mendapatkan rezeki, Karena aku yakin dengan firman Allah: Maka
mintalah rezki itu di sisi Allah. (QS al-‘Ankabut [29]: 17). Aku akan
melepaskan diri dari kesibukan duniawi, dari kesibukan di pasar, menuju ibadah
kepada Allah. Lalu orang ini pun berhenti ke pasar, tak lagi bekerja dengan
dalih bahwa ia akan menenggelamkan diri dalam lautan tauhid. Dia tak lagi
berhubungan dengan sebab- sebab, karena ia telah memandang pada Dzat yang
menciptakan sebab- sebab itu (Allah SWT)!
Maka orang ini adalah
contoh yang pas untuk hikmah ke-2 Ibnu ‘Atha’illah ini, dan ia harus
diperingatkan dengan hikmah itu. Kita katakan kepadanya: “Kehendakmu untuk
tajrid tatkala Allah menempatkanmu pada status asbab, merupakan syahwat
tersembunyi.”
Ia tampak sedang
menerapkan sikap ketauhidan, namun hakikatnya ia sedang mengikuti hawa
nafsunya. Kenapa begitu? Ya, karena Allah telah menempatkannya pada posisi
asbab, sebagai kepala rumah tangga, maka mestinya ia bekerja. Itu perintah
Allah. Tapi ia tak mau bekerja, malah ibadah terus untuk wushul pada Allah. So
sejatinya ia sama dengan mengikuti nafsunya yang tersembunyi.
Orang macam ini telah
berperangai buruk pada Allah, dengan memaksakan diri lepas dari
tatanan-alam-Nya dan ketentuan-Nya. So bagi orang yang diposisikan dalam status
asbab, bekerja itulah ibadahnya, bahagiakan kelurga itulah wiridnya. Menganggap
ibadah terbatas pada amalan- amalan tertentu saja, sedangkan selain itu hanya
urusan duniawi, adalah keliru fatal!
Seluruh perbuatan
baik itu ibadah, jika dengan niat yang benar dan ikhlas karena Allah SWT. Hanya
saja perbuatan baik juga melihat keadaan tiap orang dan tugas- tugas yang
ditetapkan Allah pada masing- masing mereka. Maksudnya, tak semua perbuatan
baik itu juga baik untuk semua orang. Kebaikan atau ketidak-baikan suatu
perbuatan bergantung pada keadaan orang yang melakukan perbuatan itu, serta
pada posisi yang telah ditentukan oleh Allah untuk orang itu.
Bagi orang yang
kehidupannya oleh Allah dipisahkan dari relasi sosial, dijauhkan dari tanggung jawab
rumah tangga, amal salehnya terwujud dalam ibadah personal yang faedahnya
kembali pada orang itu saja.
Bagi orang yang oleh
Allah ditempatkan dalam posisi penanggungjawab social politik, amal salehnya
terwujud dalam melayani umatnya. Bagi yang bertugas menjaga perbatasan negara,
amal salehnya adalah menjalankan tugas-tugas khususnya dengan ikhlas. Begitu
seterusnya, dengan catatan kita tidak melupakan kewajiban pokok, seperti salat
lima waktu, puasa, dll.
Selanjutnya, ada
orang- orang yang oleh Allah dijauhkan dari keterhubungan dengan asbab (sebab-sebab
dan perantara). Zaid, misalnya, tidak memiliki tanggung jawab apapun, terkait
dengan istri, anak-anak, kerabat dan famili. Sementara ia telah memiliki bekal
penghidupan yang cukup plus hal-hal pokok lain yang diperlukan. Dalam keadaan
ini, si Zaid akan ditarik oleh dua kecenderungan yang bertolak belakang.
Kecenderungan pertama
berkata: “Kini kamu telah memiliki sarana- sarana yang cukup untuk hidupmu.
Kenapa kau tidak cukupkan dengan itu saja? Tinggalkan keinginanmu untuk
menambah kekayaan dunia yang tidak kau perlukan itu, lalu waktumu kau gunakan untuk
memperdalam pengetahuan agama, menjalankan ibadah dan melayani agama Allah
SWT?”
Kecenderungan kedua
akan berkata: “Bangkit dan carilah tambahan rezeki. Karena Allah membenci hamba
yang menganggur. Dahulu Umar RA mendatangi para pengangguran di masjid dan
memukuli mereka dengan tongkatnya.
Menurut Anda, apa
yang seharusnya dilakukan orang ini (Zaid), dan seruan mana yang mestinya ia
penuhi?
Nah, yang menjawab
pertanyaan itu adalah bagian terakhir dari hikmah kedua Ibnu ‘Atha’illah
tersebut, yakni:
“Kehendakmu untuk tajrid tatkala
Allah menempatkanmu pada status asbab, adalah syahwat yang tersembunyi.”
Maksudnya, jika Anda
hendak bermalas-malasan karena mengandalkan bekal penghidupan yang cukup itu; Anda
makan, minum, tidur, senang- senang hingga mati, maka jelas itu ciri khas
kehidupan binatang. Namun jika keterlepasan dari asbab itu membuat Anda fokus
mengkaji agama Allah, terlepas dari kegiatan duniawi maka itulah jalan yang
benar. Itulah jalan yang lebih layak bagi orang- orang yang berjiwa besar dan
memiliki cita- cita tinggi.
Sebab memang Allah
telah menempatkan Anda pada keadaan tajrid (terlepas dari sebab-sebab dan
perantara) Maka ketimbang mengejar asbab yang oleh Allah dijauhkan dari Anda
itu, lebih baik Anda menuju Allah yang ‘mengejar’ Anda. Tentu dengan cara melayani agama-Nya,
mempelajari syariat-Nya, atau fokus beribadah kepada-Nya. Jika orang yang dalam
posisi tajrid itu membantah: “Bukankah bekerja itu juga ibadah?” Maka pikiran
seperti itu hanyalah godaan dari setan saja. Itu adalah bentuk dari kemerosotan
cita- cita yang tinggi.
Andai pikiran seperti
itu benar, pasti kita akan menilai bodoh pada para pemuda yang belajar Islam di
berbagai belahan dunia ini. Mereka bisa saja mengabaikan keadaan tajarrud yang
ditetapkan Allah, dan memilih bekerja menumpuk kekayaan. Tapi faktanya mereka
lebih memilih belajar dan beramal sesuai dengan keadaan tajarrud yang telah
ditetapkan oleh Allah itu. Mereka bergegas menuju pesantren- pesantren di
berbagai dunia Islam, fokus belajar dan beribadah. Tak bekerja sama sekali.
Selagi para pemuda
itu oleh Allah belum diserahi tanggung-jawab urusan rumah tangga, urusan
masyarakat atau politik maka kita mesti angkat topi terhadap mereka, dan
menilai mereka sebagai barisan orang- orang Istimewa. Tapi jika seseorang oleh
Allah telah diserahi tanggung-jawab urusan rumah tangga, urusan masyarakat, dll,
lalu ia malah meninggalkan tugas penting yang telah ditetapkan Allah itu, lalu
fokus ibadah atau malah pergi mondok, maka berarti ia telah menyalahi tatanan
dan arahan Islam, menyalahi apa yang ditetapkan dan dibebankan Allah
terhadapnya.
Maka, syariat adalah
neraca yang bisa dijadikan ukuran untuk mengetahui keadaan setiap orang; apakah
seseorang berada dalam keadaan tajarrud, terbebas dari asbab, atau sedang ada dalam
keadaan terikat oleh asbab. Jika seseorang melangkahi neraca syariat lalu
beralih mengikuti kecenderungan pribadinya sendiri berarti ia telah terjerumus
pada “syahwat tersembunyi”, atau “merosot dari cita yang tinggi”.
Sekadar contoh:
seorang ayah berkata pada anaknya, “Aku akan memenuhi segala kebutuhan hidup
yang kau perlukan, kamu tak perlu bekerja, namun kamu harus fokus untuk belajar
al-Quran dan mempelajari hokum- hukum syariat Allah.”
Dengan demikian,
berarti Allah telah menempatkan anak itu dalam posisi tajrid, berdasarkan
neraca syariat dan hukumNya. Maka, yang dituntut darinya adalah beramal sesuai
dengan posisi yang telah ditetapkan oleh Allah ini. Ia harus fokus untuk
mempelajari kitab Allah, hukum2 syariat-Nya, dan mendalami ilmu-ilmu agama. Anak
ini tak perlu diceramahi soal perintah mencari rezeki, syariat melarang kamu
menganggur, dll. Sebab perintah bekerja itu hanya bagi mereka yang punya
tanggungjawab, dan kebutuhan hidupnya tak dipenuhi oleh siapapun. Adapun orang yang
oleh Allah ditakdirkan ada penjamin kebutuhan hidupnya, maka tak boleh
dikhotbahi dengan hukum syariat yang itu. Terlebih, anak muda dalam contoh di
sini tidak sedang menganggur, akan tetapi beralih tugas dari usaha mencari
rezeki yang sudah ditanggung ayahnya itu, pada usaha mempelajari ilmu syariat dan
mendalami agama. Maka jika pemuda seperti ini masih memaksakan diri untuk
berbisnis, berarti ia telah merosot dari cita-cita yang tinggi.
Sumber :
Kitab Al-Hikam
Al-Athoiyah Syarh wa Tahlil
https://twitter.com/sidogiri
http://www.chirpstory.com/li/236201
Wassalamualaikum
wr.wb.
Terima kasih telah membaca artikel Ngaji Hikam Bab 2 : Kehendakmu Untuk Tajrid Tatkala Allah Tempatkanmu Pada Status Asbab, Adalah Syahwat yang Tersembunyi, diijinkan untuk menyalin semua yang ada di wastripedia, untuk disebarluaskan.