Bismillaahirrahmaanirrahiim
Assalamualaikum wr. wb
“Jangan berhenti zikir, meski hati bersama-Nya tak jua hadir. Karena tidak zikir sama sekali, lebih buruk dari zikir kendati dengan hati lalai.”
“Bisa jadi Allah membawamu dari lalai dalam zikir menjadi zikir penuh kesadaran, sehingga mengantar pada keharibaan-Nya.”
Kita pahami arti dan pembagian zikir.
[A] zikir lisan tapi hati lalai
[B] zikir qalbu
[C] zikir di hadirat-Nya
[D] zikir kefanaan dari selain-Nya.
Memang yang paling rendah dari derajat zikir adalah ketika
mengingat dengan lisan menyebuntukan, namun disertai hati lalai. Bagaimanapun
jangan sampai zikir sebatas lisan dan tidak menyentuh relung kalbu menjadi
alasan meninggalkan zikir sama sekali.
Seperti disebutkan dalam hikmah ini. Keadaan akan bertahap,
memiliki fase urutan dan tidak bisa dilakukan secara instan. Di banyak
kesempatan al-Quran mengartikan kata zikir dengan ‘mengingat’ (aktifitas batin)
sebgai lawan kata lalai. Seperti QS. Al-A’raf:205
“Dan sebutlah (nama)
Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak
mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk
orang-orang yang lalai.”
Maka zikir lisan berarti aktifitas mengingat Allah dengan
perantara lisan, dan berkemungkinan dilakukan dengan keadaan hati lalai. Betapapun
demikian, jika dilakukan secara berkesinambungan zikir lisan ibarat gerbang
pengantar untuk sampai pada zikir dengan hati sadar.
Oleh karenanya dalam Hadis disampaikan bahwa Nabi
mewanti-wanti dengan selalu berwasiat kepada shahabat agar tidak meninggalkan
rutinitas zikir. HR. Tirmidzi dari Abdullah bin Bisr; “Seorang lelaki berkata,
“Ya Rasul, begitu banyak syari’at dalam Islam ini, ajari aku suatu amalan untuk
aku jadikan pegangan!.” Nabi menjawab, Teruslah tidak berhenti membasahi
bibirmu dengan zikir kepada Allah.”
Tentu saja perintah untuk melakukan zikir lisan adalah
keharusan agar bisa sampai pada zikir hati sebagai inti sebuah pengharapan. Hanya
terkadang, sebagian kalangan merasa zikir lisan dan zikir qalbu adalah keadaan yang
sulit dipadukan. Sehingga dihentikanlah zikir lisan.
“Jangan berhenti zikir hanya lantaran tak kunjung tiba di
hadirat-Nya, sebab hal itu lebih baik dari tidak zikir sama sekali.” Ibnu
Athaillah.
Setidaknya ada 3 alasan yang mendasari pernyataan Ibnu
Athaillah ini, sebagaimana penjelasan Sekh Ahmad Zarruq berikut :
Pertama, zikir
lisan adalah keadaan menghadap Allah, adapun membiarkan lisan kelu tidak zikir
berarti berpaling dari Allah secara total.
Kedua, zikir
lisan diartikan upaya menghias anggota badan dengan ibadah, sedangkan tidak
berzikir, sama dengan menghalangi tubuh mendapat pahala.
Ketiga, zikir
lisan membuat seseorang layak memperoleh anugerah Allah dan pada gilirannya
mengantar pada tahap lebih tinggi; zikir qalbu.
Zikir Lisan tapi hati
lalai. Sibuknya lisan dengan zikir tentu bernilai pahala, hanya
jangkauannya terbatas pada satu organ tubuh; lisan, tidak merambat pada organ
tubuh lain. Namun, perlahan zikir lisan secara kontinu akan mempengaruhi
seluruh organ tubuh, hingga pada akhirnya merambah dimensi kalbu. Tidakkah
kata-kata buruk yang meluncur dari mulut seseorang seperti mengumpat, gossip
dll. Juga berdampak pada keras dan lalainya hati?
Maka sama halnya dengan mulut yang senantiasa zikir/ tilawah
akan membawa daya positif berupa ketaatan serta cahaya yang menyinari dinding
hati. Hati yang lalai, namun lisan terus bergerak dalam zikir, haliyahnya
seolah berkata: “Meski hati ini sibuk, sehingga lupa dari-Mu, setidaknya telah
aku sibukkan bibir ini dengann menyebut dan mengagungkan asma-Mu, dan aku tidak
gunakan untuk berkata hal yang tak Kau ridhai.”
Zikir qalbu adalah
tergugahnya hati pada kandungan makna yang terucap dalam zikir lisan serta
perenungan dan perasaan yang tidak melayang-layang. Keadaan ini adalah tahap
awal bagi kesiapan hati untuk hadir di haribaan-Nya. Pun sebagai langkah awal
menjauhi kesibukan yang merintangi. Apakah perbedaan zikir dengan hati sadar
dengan zikir hadir di hadirat-Nya? Tentu ada beda, mari kita cari tahu
jawabannya.
Zikir dengan sadar adalah mengingat kandungan lafad yang
diucapkan namun sama sekali tidak menyentuh perasaan dan keyakinan. Hadirnya
hati dalam zikir yaitu perasaan orang yang berzikir ditarik oleh kekuatan
cinta,takut dan ta’zim kpada Dzat yang disebutnya. Inilah perbedaan fase
derajat [C] zikir di hadirat-Nya dan [D] zikir kefanaan dari selain-Nya.
Keadaan ini secara otomatis juga akan memalingkan seseorang
dari berfikir tentang kesibukan dunia yang dipenuhi hasrat kepentingan nafsu. Mengapa
otomatis? Karena Allah tidak menciptakan 2 hati dalam tubuh manusia. Jika ia
mampu mengisi hari dengan zikir, hilanglah duniawi dalam fikir.
Mungkin dalam hati Anda bergumam, “Zikir dengan hati dan pikiran
sadar mah gampang, yang sulit itu untuk bisa hadir di haribaan-Nya!.” Maka
terapi yang bisa dilakukan adalah kontinu dalam kesadaran berzikir, maka lambat
laun akan membantu untuk bisa hadir di hadirat-Nya.
Semisal, seseorang istikamah tilawah sambil menghayati
makna, secara terus menerus akan mendatangkan ta’zim dan cinta kpada Allah. Kalau
boleh jujur, jika seseorang sudah sampai pada tahap zikir dengan kesadaran
hati, sebenarnya tak perlu lagi zikir lisan. Kok bisa? Iya. Bahkan ia wajib
menjaga kondisi hati agar tidak sedetik pun melupa. Terkecuali jika zikir itu
ma’tsur (datang) dari Nabi harus sinkron antara hati dan lisan.Yakni
zikir-zikir yang dianjurkan oleh Nabi seperti istighfar di waktu sahur, salawat
pada baginda Nabi dsb.
Fase yang lebih tinggi lagi adalah ketika seserang diberi
anugerah untuk bisa zikir dengan hadir
di haribaan-Nya. Senantiasa ingat Allah dan Allah. Jika fase ini dapat
dilakukan dengan istikamah sampai menjadi bagian dari rutinitasnya, maka selain
Allah adalah sirna dan yang kekal hanya Allah semata, yaitu zikir yang membuat
lupa dari lingkungan yang mengitarinya, sehingga setiap interaksi yang
terlintas dalam hati selalu mengarah pada Allah. Inilah yang disebut dengan
‘insan God Oriented’, orientasi pikiran yang selalu menuju dan berakhir pada
Tuhan yang Maha Segala.
Kesimpulan dari hikmah ini: Tiada jalan untuk bisa sampai ke
haribaan Allah kecuali dengan zikir (menyebut dan mengingat) Allah. Zikir dengan pemaknaan utuh seperti di atas adalah
esensi ibadah seseorang. Tanpanya ibadah hanya berupa bagan/kerangka tanpa
hakikat.
Maka renungkan makna QS. Al-Kahfi: 28.
“Dan jangan kau ikuti
orang-orang yang aku lalaikan hatinya serta selalu menuruti hawa nafsunya.”
Referensi :
Pesantren Sidogiri@sidogiri
http://chirpstory.com/li/243264
Terima kasih telah membaca artikel Al Hikam 47 : Jangan Berhenti Zikir, Meski Hati Bersama-Nya Tak Jua Hadir, diijinkan untuk menyalin semua yang ada di wastripedia, untuk disebarluaskan.