Bismillaahirrahmaanirrahiim
Assalamualaikum wr. wb
“Diantara tanda-tanda hati yang mati adalah; saat kesempatan beribadah hilang dia tak bersedih, dan ketika melakukan sebuah dosa dia tak menyesal.”
Coba renungkan! Apa yang dimaksud dengan hati yang mati dan
hati yang hidup?
Hati yang hidup
adalah; hati yang dipenuhi rasa cinta, ta’dzim dan takut kepada Allah SWT. Jika
hati kosong dari rasa itu, ialah hati
yang mati. Nah, masing-masing dari hati yang hidup dan hati yang mati,
memiliki pengaruh signifikan dalam perjalanan dan suluk seseorang.
Mungkin anda merasa janggal dengan uraian di atas; mengapa
bukan “melakukan kesalahan yang menjadi indikator matinya hati. Sebagimana
“semangat beribadah dan taat akan perintah Allah” menjadi borometer hidupnya
hati?
Kejanggalan ini timbul, karena dia melihat hidup dan matinya
hati dari sisi lahiriahnya, berupa apa yang diperbuat oleh manusia. Bukan dari
sisi perasaan yang meliputi; tak ada sesal ketika terlanjur berbuat dosa dan
tak bersedih ketika absen melakukan suatu ibadah.
Ketahuilah! bahwa jika hati sudah terpenuhi dengan rasa cinta
dan ta’dzim kpada Allah, pasti akan terdorong untuk taat perintahNya dan jauhi
laranganNya. Allah memberi anugrah fitrah imaniyah terhadap sesorang,
mengandung hikmah yang sangat agung, yang dengannya ia bisa melebihi
derajat malaikat. Yaitu dengan cara
menyiapkan hati yang bersih untuk menampung cinta suci yang tertinggi, yaitu
cinta kepada Allah swt.
Dan dengan sebab selalu memuliakan dan mensucikan Dzat yang Maha
Tinggi, dia terus meningkat pada derajat yang lebih tinggi. Hingga ia selalu
berada dalam kerinduan yang tinggi untuk mencapai maqam malail a’la (derajat
tertinggi) di sisi Rabb-nya.
Itulah entitas mansia yang hakiki, hati dan ruhnya selalu
disediakan untuk dipenuhi dengan perasaan-perasaan suci, berupa cinta dan takut
kepada Ilahi. Namun dibalik itu harus disadari, bahwa kekuatan ruh pada diri
manusia tak berjalan mulus. Ada banyak rintangan yang akan menghadangnya. Seperti
dorongan naluri untuk berbuat maksiat, godaan syetan yang selalu menyelinap dan
kobaran syahwat yang mendongkrak dengan kuat.
Dua kekuatan yang kontras ini sama-sama mendorong seseorang dalam
bertindak, sehingga dia tidak lepas dari salah satu dua garis, taat dan
maksiat. Lantas adakah kesimpulan yang bisa diambil dari sini? Kesimpulan itu
adalah terjadinya salah dan benar, taat dan maksiat.
"Semua Bani Adam punya salah, dan sebaik-baik orang yang
bersalah adalah ia yang bertaubat." HR. Ahmad
Ruh dan perasaan hati meningkat ketika melakukan taat,
sebagaimana hati terasa berat karena terbebani syahwat di kala berbuat maksiat.
Demikianlah kondisi hati seluruh umat manusia, dihujani
kecamuk yang akut saat nafsu mengarah di waktu taat ataupun maksiat.
Hanya Nabi yang tidak memiliki perasaan semacam ini, karena dalam
diri para Nabi dibekali 'ishmah (proteksi) dari Allah agar tidak terjatuh pada
dosa. Kira-kira hikmah yang bisa dirasakan dari adanya kontradiksi kuatnya hati
di kala taat, dan menjadi tunduk pada nafsu di kala maksiat?
Pertentangan yang sering menuai isykal di hati banyak orang
ini memiliki hikmah agar kita senantiasa lari dan meminta pertolongan Allah. Lari
dari betapa lemahnya diri ini ketika dihujam oleh jeratan nafsu yang bertubi-tubi
dan meminta agar tidak mudah menyerah di hadapan nafsu.
Disini kita dihadapkan pada dua hal kontradiksi: apakah hati
kita akan condong kepada Allah, ataukah menuruti nafsu manusiawi kita? Jika
kita mau sadar, tentu kita tak akan mengorbankan diri kita hanya untuk meneguk
kenikmatan nafsu yang hanya sesaat.
Hikmah Ibnu Athaillah diawal tadi menganjurkan kita agar
selalu mawas dan menjaga diri agar tak menuruti keinginan nafsu kita. Seorang
hamba bisa dikatakan menjaga diri dari rayuan nafsu adalah saat ia merasa
menyesal dengan kekhilafan/kesalahan yang dilakukan.
Sebab tak ada seorang menusia pun yang bersih dari efek
negatif nafsu diri. Semua pasti pernah melakukan kesalahan, kecuali para
Anbiya. Kesalahan yang cepat ditobati pasti punya dampak positif, yaitu bisa
mendorong hati kita agar selalu waspada untuk tak terjerumus lagi kesana.
Inilah penyesalan yang hakiki. Penyesalan yang bisa membawa
pemiliknya menobati dosa-dosanya. Penyesalan yang bikin kita makin dekat dengan
Allah.
Diri kita tentu berbeda dengan fisik malaikat yang tak
pernah bermaksiat pada Allah. Cara hidup kita tak sama dengan cara hidup para
malaikat. Jika kita punya nafsu, maka malaikat tidak. Bisa kita bisa
bermaksiat, malaikat bukan tipe makhluk pemaksiat. Sangat berbeda kan!
Lalu apa hikmah Allah mencipta malaikat tanpa nafsu,
sedangkan kita dicipta dengan penuh nafsu birahi? Apakah hikmah dibalik itu?
Meski malaikat tak dilengkapi nafsu tapi ada sisi yang tak
menguntungkan bagi malaikat bahwa malaikat tak bisa mrasakan nikmat diterimanya
tobat oleh Allah. Malaikat tak bisa merasakan nikmatnya berinteraksi langsung dengan-Nya.
Manusia bisa lebih tinggi derajatnya dari pada malaikat.
Manusia bisa lebih merasakan nikmat luar biasa yang tak bisa dirasakan
malaikat. Maka jangan sia-siakan kesempatan ini. Kita seharusnya bisa lebih
unggul, bahkan lebih tinggi derajatnya dari pada malaikat atau makhluk lainnya.
Maksiat/kesalahan yang diperbuat sebenarnya bisa jadi
kesempatan untuk kita bisa semakin dekat dan butuh pada Allah, dengan cara
ditobati. Tobat yang tak main-main pasti akan mendapat tanggapan yang luar
biasa dari Allah, sebab Allah tak akan menelantarkan hamba yang disayangi-Nya.
Semoga kita menjadi hati kita hidup dan hanya terpenuhi dengan
rasa cinta dan khauf kepada-Nya, hingga menjadi hamba yang dicintai-Nya. Amin
Referensi :
Pesantren Sidogiri@sidogiri
http://chirpstory.com/li/243297
Terima kasih telah membaca artikel Al Hikam 48 : Tanda-Tanda Hati Yang Mati, diijinkan untuk menyalin semua yang ada di wastripedia, untuk disebarluaskan.