Bismillaahirrahmaanirrahiim
Assalamualaikum wr. wb
“Besarnya dosa jangan sampai menjadi rintangan bagimu dari berhushnudh-dzhan (Baik prasangka) kepada Allah sebab barang siapa yang benar-benar mengenal Allah, akan menganggap kecil dosanya dibanding luasnya kemurahan yang dimiliki oleh Allah.”
Hikmah ke-49 ini sejatinya lanjutan penjelasan kalam hikmah sebelumnya
Pada Hikmah ke 48 sudah dijelaskan bahwa di antara tanda
matinya hati adalah tidak adanya perasaan menyesal di kala berbuat dosa. Sekarang
dilanjutkan bahwa meski kita dianjurkan menyesal di saat melakukan dosa, jangan
lantas membuat sikap ini terus menguasai kita sehingga mengakibatkan dirinya
putus asa dan bersikap negative thinking / berburuk sangka kepada Allah.
Di saat berbuat dosa atau lalai menunaikan kewajiban maka
kita dianjurkan menyesal dan bangkit memperbaiki kelalaian itu. Bukan terus
menyesal dan membuat kita lupa pada besarnya ampunan yang dimiliki oleh Allah.
Kalau hanya menyesal saja ya jelas salah.
Realitanya kadang ada sebagian org yang berbuat dosa,
kemudian menyesalinya sampai putus asa pada besarnya ampunan yang dimiliki oleh
Allah. Syaitan kadang membisikinya bahwa kalau sudah terlanjur berbuat dosa
besar, maka perbuatan ibadahnya sudah tak berguna lagi.
Apabila bisikan syaitan ini dituruti maka perasaan menyesal
akibat berbuat dosa tak lantas menjadikannya bangkit untuk berbuat baik. Karena
itu kalam hikmah 48 harus dipahami sesuai konteksnya dengan mempelajari kalam
hikmah 49 ini.
Bahwa menyesal saat berbuat dosa/tak melaksanakan kewajiban
itu bagus, tapi harus bangkit untuk memperbaikinya, bukan terus-terus
meratapinya. Seberapa besar dan banyak dosa yang kita kerjakan, ampunan dan
rahmat yang dimiliki oleh Allah jauh lebih besar dari itu semua.
Menyesal dari berbuat dosa tak lantas membuat terpuruk dalam
penyesalan selamanya, tapi justru sebaliknya, bangkit dan memperbaiki kesalahan.
Kalau ditanya. Bagaimana mungkin dalam satu sisi kita diperintah menyesal saat
berbuat dosa, tapi di sisi lain diperintah untuk husnud-dzan?
Maka di sini perlu dijelaskan secara rinci, bahwa perintah
menyesali perbuatan dosa adalah semata-mata karena malu kepada Allah. Malu
karena Allah telah memperlakukan kita dengan sebaik-baiknya, tapi kita kok
malah mendurhakainya dengan berbuat dosa. Ini sangat memalukan. Menyesali
perbuatan dosa itu murni karena faktor malu kepada-Nya. Bukan karena takut akan
siksaan/ancaman neraka dari Allah. Kalau penyesalan berbuat dosa karena
berdasarkan takut kepada siksaan/neraka, maka sejatinya dia ego. Ego
mementingkan diri sendiri. Soal surga/neraka, siksa/nikmat, itu murni menjadi
hak perogratif Allah. Manusia tak memiliki kekuasaan apa-apa.
Apabila menyesali perbuatan dosa karena takut neraka, maka
potensi berburuk sangka kepada Allah semakin tinggi. Namun, apabila menyesali
perbuatan dosa karena malu terhadap Allah maka kita tetap bisa menjaga tuk
senantiasa berbaik sangka kepada-Nya.
Jadi perlu ditegaskan kembali bahwa ketika berbuat
dosa/lalai pda kewajiban maka sikap kita adalah menyesali perbuatan itu semua. Selanjutnya
bangkit untuk memperbaiki semua kesalahan itu dengan tetap percaya dan berbaik
sangka bahwa ampunan Allah jauh lebih besar.
Inilah sikap yang proporsional. Jangan lantas dosa yang
dikerjakan itu membuatnya menyesal, tapi tidak membuatnya bangkit dari
keterpurukan. Orang yang mengenal sifat-sifat Allah dengan pemahaman yang baik
akan sadar, bahwa rahmat dan ampunan-Nya jauh melebihi sifat murkanya.
Referensi :
Pesantren Sidogiri@sidogiri
httapi://chirpstory.com/li/243446
Terima kasih telah membaca artikel Al Hikam 49 : Besarnya Dosa Jangan Jadi Rintangan Berhushnudh-dzhan Kepada Allah, diijinkan untuk menyalin semua yang ada di wastripedia, untuk disebarluaskan.