Bismillaahirrahmaanirrahiim
Assalamualaikum ww. wb
“Beraneka warna jenis amal, itu karena bermacam-macamnya anugrah (waarid) Allah kepada hamba-hamba-Nya.”
Ustadz Salim Bahreisy
ra. mensyarah dalam terjemahnya halaman 21 sebagai berikut:
Karena itu tiap orang shalih yang menuju ke suatu maqam
(tingkat) harus mengerti dalam ibadah yang mana ia merasakan nikmat ibadah
tersebut, karena di situlah ‘terbuka’ qalbunya. Apakah dalam shalat, atau
shaum, atau ibadah yang lainnya.
Syaikh Fadhalla Hairi
ra. dalam terjemahnya halaman 9 mengomentari:
“Suatu perbuatan yang timbul dari hati yang suci dan merdeka
tidak sama dengan perbuatan yang termotivasi oleh keinginan-keinginan,
ketakutan-ketakutan, dan ambisi-ambisi pribadi. Hasil dari perbuatan juga
berbeda-beda sesuai dengan niat dan keadaan hati kita. Perbuatan adalah gerakan
lahir dari apa yang ada dalam hati dan tergantung pada keadaannya. Jadi,
seluruh kondisi dan pengalaman eksistensial merefleksikan keadaan hati yang
sebenarnya.”
Di kalam hikmah ini al-Buthi
menegaskan, bahwa kondisi yang sedang dialami seorang dapat memotivasi
lahirnya berbagai macam amal. Apa yang dimaksud dengan kondisi (ahwal)?
al-Buthi menjelaskan; yang dimaksud dengan kondisi
adalah kondisi hati dan kondisi masyarakat.
Kita bahas Kondisi masyarakat terlebih dulu. Maksud dari
kondisi ini adalah interaksi seseorang dengan segala hal yang diluar dirinya. Bahwa
seorang hamba memiliki tugas lain diluar kewajiban dirinya kepada Allah,
semisal shalat, puasa, dll. Tugas lain selain tugas dirinya kpda Allah itu seperti
tugasnya pada keluarga, masyarakat luas dan lingkungannya.
Contoh - Jika ia seorang yang berkeluarga, maka ia punya
kewajiban menanggung sgala biaya hidup istri dan anak-anaknya. Jika ia
karyawan, maka tugas-tugas yang dibebankan kepadanya harus segera dituntaskan,
sesuai deadline.
Jika ia guru, maka tugas di luar tugas dirinya kepada Allah adalah
mendidik murid-muridnya agar menjadi orang yang berilmu. Di balik tugas yang
beragam itu, terdapat nilai positif yang berpahala plus Allah tidak membebani
hamba dengan tugas diluar kemampuan. Lalu apa hikmah Allah menakdirkan tugas yang
beragam itu? Disamping juga mengikat dengan ibadah-ibadah wajib yang lain?
Jawabannya adalah tugas yang bergam itu tidak akan sia-sia, karena Allah akan
mengganjarnya dengan posisi yang mulia di sisi Allah. Dengan syarat niat tulus.
Contoh mudahnya begini, orang yang sudah menikah akan
dibebani kewajibn pada keluarga. Kewajiban pada keluarga ini juga ibadah. Duduk
bercengkrama dengan keluarga di waktu senggang juga ibadah yang tak
tergantikan. Bekerja mencari nafkah ke pasar juga ibadah.
Karyawan di kantor harus menggunakan waktunya sebaik
mungkin. Sebab jika lalai berarti dia telah bermaksiat. Melakukan aktifitas yang
tidak penting pada jam kerja, sama halnya dengan membuang-buang waktu. Bahkan,
meski aktifitas sunah sekalipun.
Baca al-Quran/Hadis saat jam kerja adalah pekerjaan yang
keliru. Sebab, waktu yang ada ternyata tak digunakan pda hak-haknya. Sebab,
tiap waktu itu punya hak. Bukan hanya hak pada Allah tapi juga hak pada
masyarakat umum, hak umum ini apabila dilalaikan juga dosa. Kita mesti sadar
kalau ibadah kita pada Allah juga digantungkan pada kewajiban-kewajiban sosial
kita.
Tugas memakmurkan rakyat bagi pemimpin sama pentingnya dengan
beribadah wajib kita pada Allah. Intinya, semua potensi yang dimiliki manusia
telah dibagi-bagi sesuai dengan kemampuan dan posisinya. Ini semua bernilai
ibadah.
Jangan anggap tukang parkir, tukang sapu, karyawan, sopir,
pekerjaannya itu tidak bernilai ibadah. Semuanya bernilai ibadah. Sebab, hak
dari tugas seorang itu bukan hanya pada Allah, tapi juga pada masyarakat umum.
Ini yang diistilahkan dengan Ahwal Ijtimaiyah.
Dari ini kita jadi paham, bahwa kewajiban yang ditetapkan
Allah berbanding lurus dengan tugas-tugas yang dibebankan masyarakat kepadanya.
Inilah yang dimaksud kalam Ibnu Athaillah di atas, “Beragamnya jenis amal adalah karena berbagamnya ahwal (Kondisi2)"
Selanjutnya adalah apa yang dimaksud dengan kondisi hati? Adalah
pekerjaan yang timbul dari hati yang dikontrol langsung oleh Allah. Pekerjaan yang
timbul dari hati ini bukan kemauan sendiri, tapi Allah yang mengontrol. Hingga
kadang ia melakukan hal-hal diluar nalar. Menghadapi hal yang demikian sikap yang
harus kita dahulukan adalah “Husudz-dzan”. Penyebabnya tadi itu, bahwa Allah yang
mengntrol.
Yang istimewa, setelah melanggar aturan, mereka malah makin
takut kepada Allah. Merasa menyesal jika ingat pelanggarannya. Seperti kejadian
aneh yang dilakukan Ma’ruf al-Karkhi.
Suatu hari Ma’ruf melewati seorang petugas khusus minuman. Petugas itu bilang:
“Semoga Allah mengasihi orang yang meminum air dariku,” Ma’ruf langsung saja
minum air yang ditawarkan. Padahal saat itu ia sedang berpuasa. Seorang lalu
menegor: “Kenapa engkau meminum air itu, padahal engaku sedang berpuasa?” Apa
jawaban Ma’ruf? ia berkata: “Iya, aku memang sedang puasa. Tapi doanya lebih
aku harapkan (daripada yang lain)”.
Ada yang luar biasa lagi dari Sari as-Saqathi. Konon, ia membaca istighfar selama 30 tahun karena
Hamdalah yang diucapkan sekali. Berawal dari peristiwa selamatnya toko
as-Saqathi dari lalapan api yang menghanguskan pasar besar. Tanpa sadar ia
berucap Hamdalah. Lalu dimana letak kaitan “kondisi hati” dengan sampel yang
kisah-kisah para tokoh Shalih tadi? Mari kita bahas lebih mandalam lagi.
Yang menjadikan Ma’ruf istimewa adalah keyakinan hatinya akan
doa yang dipanjatkan petugas minuman tadi. Dengan meminum air yang ditawarkan
kepadanya, ia berharap akan masuk dalam kelompok orang-orang yang dirahmati
Allah. Kondisi inilah yang bikin Ma’ruf berani minum dan membatalkan puasa
sunnahnya. Dalam konsep fiqh, kondisi semacam ini tdk fatal. Sebab dibidang
ibadah, mayoritas hasil kajian Fuqaha berkonotasi Ijtihadi. Sama persis dengan
Ijtihad yang dilakukan Makruf tadi.
Lebih aneh lagi yang dilakukan as-Saqathi tadi. Ia
menerjemahkan Hamdalah yang diucapkan sebagai hal negatif. Ia merasa malu dan
menyesal berucap Hamdalah, ditengah kegalauan saudara-saudaranya yang Muslim. Kondisi
hati yang demikian inilah kemudian mendorong as-Saqathi meng-istighfari ucapan
Hamdalah-nya sendiri.
Nah, disini sinkronnya kalam hikmah Ibnu Athaillah:
“Beragamnya jenis amal adlh krna beragamnya kondisi hati”.
Setelah kita tahu maksud hikmah Ibnu Athaillah tadi, tidak
akan ada kritik-kritik usil apalagi kata-kata kotor yang akan keluar dari kita.
Sebab semuanya berjalan sesuai kendali Allah. Sebagaimana penjelasan dimuka, yang
perlu kita dahulukan adalah "Husnudz-dzan".
Wassalamualaikum ww. wb
Sumber :
http://chirpstory.com/li/237168
https://alhikam2012.wordpress.com/2012/07/07/terjemah-al-hikam-karya-syaikh-ibnu-aththoillah-oleh-ustadz-salim-bahreisy-hikmah-no-9/
Terima kasih telah membaca artikel Terjemah Al Hikam – Hikmah 9 - Beraneka Jenis Amal, Karena Bermacam-macamnya Anugrah Allah kepada hamba-Nya, diijinkan untuk menyalin semua yang ada di wastripedia, untuk disebarluaskan.