Assalamualaikum ww. wb
Terjemah Al Hikam – Hikmah 8
“Apabila Dia membukakan bagimu suatu untuk ma’rifat (mengenal pada-Nya), maka jangan kauhiraukan soal amal-mu yang masih sedikit, sebab Dia tidak membukakan bagimu, melainkan Dia akan memperkenalkan diri kepadamu. Tidakkah kau ketahui bahwa ma’rifat itu semata-mata anugrah Allah kepadamu, sedang amalmu adalah hadiahmu kepada-Nya. Maka bagaimanakah perbandingannya antara hadiahmu dengan anugrah-Nya kepadamu?”
Ustadz Salim Bahreisy
ra. mensyarah dalam terjemahnya sebagai berikut:
Ma’rifat kepada Allah, merupakan puncak keberuntungan
(falaha) seorang hamba, maka bila Dia telah membukakan bagimu suatu jalan ununtuk
mengenal kepada-Nya, maka tidak usah kauhiraukan berapa banyak amal kebaikanmu.
Sebab ma’rifat itu suatu karunia anugrah langsung dari Allah, maka ia
sekali-kali tidak tergantung kepada banyak atau sedikitnya amal baik kita.
Abu Hurairah ra
berkata, Rasulullah saw bersabda, Allah berfirman:
“Apabila Aku menguji
hamba-Ku yang beriman, kemudian ia tidak mengeluh kepada orang yang menemuinya,
maka Aku lepaskan ia dari ikatan-Ku dan aku gantikan ununtuknya daging dan
darah(diri) yang lebih baik daripada dari semula, dan ia boleh memperbaiki amal
shalihnya,sebab yang lalu telah Kuampuni semua.”
Diriwayatkan: Allah telah menurunkan wahyu kepada salah
seorang Nabi-Nya. Aku telah menurunkan
bala'(ujian) kepada seorang hamba, kemudian ia berdoa, dan tetap Aku tunda
permohonannya, akhirnya ia mengeluh, maka Aku katakan kepadanya, ‘Hamba-Ku
bagaimana Aku memberikan rahmat-Ku kepada-mu, padahal Aku justru sedang
memberimu Rahmat-Ku yang terselubung dalam bala’ tersebut. Karena dengan segala kelakuan kebaikanmu
engkau tak dapat sampai ke tingkat yang akan Aku berikan kepadamu, maka dengan
bala’ itulah engkau dapat mencapai maqam dan hal di sisi-Ku.’
Sedangkan Syaikh
Fadhala Hairi dalam terjemahnya mensyarah sebagai berikut:
Kita tidak bisa mengukur seluruh rahmat Allah, atau
membandingkannya dengan ilusi-ilusi kita tentang pengorbanan atau amal kebaikan
kita. Apa pun yang kita tunjukkan kepada Sang Khaliq tidak sebanding dengan apa
yang telah Dia karuniakan kepada kita, yakni fithrah dan cahaya ruh serta jiwa.
Sesungguhnya, Dia adalah Pencipta dan Pemelihara segala
sesuatu yang di dalam dan di sekitar (diri) kita, baik yang kasat mata/dhohir
maupun yang ghaib/tak kasat mata. Kebutuhan-kebutuhan dan amal-amal kita
hanyalah tanda dan pendahuluan menuju pembukaan qalbu dan pertolongan, yang
sebenarnya sudah ada hanya terhijab dari kita.
Dari kalam hikmah ini, al-Buthi
membagi jalan untuk makrifat kepada Allah pada 2 hal:
1. Dari hamba ke Allah.
2. Dari Allah ke hamba
Proses yang pertama, merupakan perjalanan hamba menuju
Rabb-nya dengan bekal keimanan yang kokoh pada hati dan akalnya. Ia berproses
menata hati agar memiliki rasa cinta yang kuat kepada-Nya, serta rasa ta’dzim
tinggi beserta amal yang baik. Kemudian ia menghadap kepada Allah dengan
menjalankan segala perintah-Nya dan menjahui semua larangan-Nya. Didukung dengan memperbanyak dzikir, membaca
al-Quran pada setiap waktu. Inti dari proses makrifat yang pertama ini; secara
bertahap berlatih menghindari urusan duniawi dan mengutamakan urusan ukhrawi. Endingnya,
terpatri dalam jiwanya krakter mengutamakan urusan akhirat. Proses ini
diistilahkan dengan "Jalan hidayah dan Inabah”
Proses yang ke-2 untuk makrifat kepada Allah adalah Allah
datang kepada seorang hamba dengan memberi rahmah dan hidayah kepadanya. Ini
bisa terjadi di saat seorang hamba sedang tenggelam dalam penyimpangan dan
perilaku yang menjauhkan dirinya dari Allah. Tiba-tiba datanglah rahmat dari
Allah secara tak terduga, melalui sebab yang hanya diketahui oleh-Nya. Dengan
sebab ini, tampak kesadaran dan kelembutan sifat Allah yang menariknya untuk
fokus menuju Sang Khaliq. Sehingga dalam waktu yang relatif singkat ia naik ke
tangga makrifat, mahabbah dan ta’dzim kepadaa Allah SWT
Jalan makrifat yang
ke-2 ini disebut dengan jalan ijtiba’ (Murni pilihan dari Allah terhadap hamba
yang dikehendaki-Nya). Jalan ini
memberikan indikasi bahwa kita tidak memiliki otoritas sama sekali untuk meraih
makrifat sesuai kehendak kita. Jalan makrifat yang ke-2 ini adalah murni
kekhususan dari Allah kepada hamba yang dikehendaki-Nya.
Beda halnya dengann jalan yang pertama; yaitu jalan Inabah
dan hidayah (kembali ke jalan Allah dan mendapat hidayah) yang merupkan proses
yang bisa ditempuh oleh setiap hamba dengan ikhtiar yang maksimal dan kesungguhan
yang tinggi. Ending usaha makrifat dari jalan yang pertama ini adalah datangnya
hidayah sebagai buah dari usaha dan ketekunan ibadahnya
Nah, pada kalam hikmah yang ke-8 ini, Ibnu ‘Athoillah
mefokuskan jalan makrifat pada bagian yang ke-2 yaitu jalan Ijtiba’. Yaitu
Allah SWT akan memberi hidayah kepada hamba yang sedang ada dalam jurang
kelalaian dan jauh dari-Nya. Melalui jalan ini, dalam wktu singkat ia akan
meraih maqam makrifat yang tinggi dan dekat dengan Allah SWT.
Allah berfirman:
اَللَّهُ يَجْتبِي إليه مَن يشَاءُ
ويَهدي إليه مَن يُنيبُ
“Allah memilih orang yang
Dia kehendaki kepadaa agama tauhid dan memberi petunjuk kepada orang yang
kembali kepada-Nya.”
Banyak cerita-cerita ulama salaf yang berubah menjadi
kekasih Allah melalui proses ini. Di antaranya Syaikh Fudhail bin ‘Iyadh. Beliau
menjadi tokoh sufi terkenal setelah melalui masa lalu yang sangat buruk, tapi
akhirnya berubah menjadi waliyullah. Di masa sebelum bejatnya, beliau dikenal
sebagai pelaku begal yang sering merampas harta orang di tengah jalan. Ceritanya
begini, di suatu malam, beliau berada di tengah jalan bermaksud untuk membegal
orang yang singgah di tempat itu, Tapi sebelum melancarkan aksinya, tiba-tiba
ia mendapat hidayah dan pertolongan dari Allah. Sebab ini, ia berubah jadi ahli
ibadah. Sejak saat itu, hatinya kosong dari urusan duniawi dan diganti dengan
rasa ta’dzim, mahabbah dan khauf pda Allah SWT. Akhirnya, Fudhail bin Iyadh
menjadi wali terkenal yang dijadikan panutan oleh ummat
Itulah salah satu contoh dari orang yang oleh Allah
dikehendaki menjadi hamba yang dekat dengaNya melalui proses yang cepat. Namun,
ada hal prinsip yang harus kita pahami dan jangan sampai salah paham dari kalam
hikmah ini, yaitu ungkapan “Jangan hiraukan amalmu yang sedikit jika Allah sudah
berkehendak utk mengangkatmu ke derajat makrifat"
Al-Buthi menjelaskan
bahwa kata-kata ini khusus dilihat setelah orang itu mendapatkan hidayah dari
Allah. Bukan malah dibuat dalil untuk lalai / santai-santai dalam melakukan
kewajiban-kewajiban dan meningkatkan sunnah-sunnah yang dianjurkan. Sebab,
hamba yang akan mendapat hidayah semacam ini, ia akan merasakan manisnya cinta kepada
Allah, setelah beribadah yang tekun. Oleh karena itu, janganlah sampai lalai dan lemah beribadah dengan berdalih uraian kalam
hikmah di atas. Catat!
Juga, tak usah heran jika ada orang yang awalnya jauh dari
rahmat Allah, namun tiba-tiba jadi orang yang senang dan rajin beribadah. Dia
berarti termasuk hamba pilihan yang memang disetting untuk makrifat kepada-Nya dengan
proses yang instan.
Masih ingat kalam hikmah yang pertama kan? Bahwa kita
dilarang mengandalkan amal ibadah yang kita laksankan. Jika kita rajin ibadah dan
akhirnya mendapat derajat tinggi di sisiNya, ini bukan sebab amal kita, tapi
murni anugrah dari Allah. Dari ini kita tau, bahwa anugrah dan hidayah Allah
jauh lebih cepat menyebabkan makrifat daripada amal yang kita kerjakan. Karena
amal ibadah yang kita kerjakan, masih rentan tercampur oleh penyakit hati, seperti
riya', ujub, sombong, dst.
Semoga kita semua bisa sampai pada maqam makrifat dengan
cara yang Allah kehendaki untuk kita. Amin ya Rabbal Alamin.
Demikian Hikmah 8 ini.
Semoga bermanfaat.
Wassalamualaikum ww. wb
Sumber :
http://chirpstory.com/li/ 237015
https://alhikam2012.wordpress.com/2012/07/07/terjemah-al-hikam-karya-syaikh-ibnu-aththoillah-oleh-ustadz-salim-bahreisy-hikmah-no-8/
Terima kasih telah membaca artikel Terjemah Al Hikam – Hikmah 8 - Apabila Dia Membukakan Bagimu Suatu Untuk Ma'rifat, Maka Jangan Kauhiraukan Amalmu yang Sedikit, diijinkan untuk menyalin semua yang ada di wastripedia, untuk disebarluaskan.