Bismillaahirrahmaanirrahiim
Assalamualaikum wr. wb
“Asalnya semesta alam ini gelap gulita, lalu Allah al-Haq meneranginya”.
Maskudnya, segala hal yang ada disekitarmu asal mulanya adalah
cahaya. Bumi itu nur. Matahari dan Bulan juga nur. Aneka ragam warna pada benda
yang terlihat disekelilingmu, sebenarnya adalah nur yang sedang membungkus
materi. Nur-nur itu mengalir begitu halus disetiap sendi, hingga sorot mata
biasa yang memandang bisa dibuatnya tertipu. Lebih dalam lagi, Nur yang bisa
dirasakan di semesta alam ini ada dua: yaitu Nur yang terlihat mata dan Nur yang
terdeteksi akal.
Saat melihat nyala bara api, maka yang terlihat mata itulah
Nur pertama. Sedang Nur kedua adalah inti materi yang tersimpan. Nur kedua ini
agak rumit, sebab ia hanya bisa dilacak dengan akal. Butuh akal yang super
tajam untuk bisa menemukan Nur ini. Bila ada api membara, maka yang Anda lihat
itu bukanlah inti api, tapi hanya kulit yang menutupi inti. Ini maksud Nur
pertama tadi
Kulit api akan hilang dan menjadi abu yang lalu diterbangkan
angin, jika inti apinya musnah. Benda-benda lainnya juga begitu. Analoginya,
berarti bukan api yang memancarkan Nur. Nur itu ternyata dicipta oleh hal lain
selain api. Lalu, apakah ia? Itulah ciptaan agung Allah. Hanya Allah semata yang
bisa merekayasa hal demikian. La haula wala quwwata illa billah…!!!
Allah yang memberi energi pada benda, hingga ia bisa
memancarkan cahaya. Ini maksud Nur kedua, yang hanya bisa dilacak akal. Ini
maskud kalam hikmah Ibnu Athaillah tadi: “Asal semesta alam ini gelap, lalu
Allah al-Haq meneranginya”.
Mungkin kita sering mendengar istilah orang begini, “Manusia
itu punya dua potensi: penglihatan mata dan penglihatan hati”. Yang pertama
orientasinya pada hal lahiriyah, sedangkan yang kedua cakupannya adalah pada
hakikat batin yang samar.
Maka jangan sampai salah pemahaman, apalagi sampai bikin
akal tersesat. Kalam hikmah tadi juga pas untuk konteks saat ini. Sebab ilmu
sains modern bicara beda. Matahari, misalnya, memancarkan sinar sendiri. Lihat
sinar berarti melihat matahari! Padahal sebenarnya yang dilihat adalah
materi/benda bernama matahari, bukan inti sinarnya. Matahari hanya alat
penampung cahaya. Menyaksikan ikan di akuarium besar, berarti sedang melihat
kaca, bukan ikan. Tambah banyak penghalang, berarti semakin jauh. Hal semacam
ini akan dijelaskan lebih lanjut oleh separuh kalam hikmah berikutnya. Monggo,
lanjut ke pembahasan...
"Orang yang menyaksikan Nur semesta alam namun ia tak
menemukan Allah disana, berarti ia telah terhalang silaunya Nur. Ia juga
tertutup untuk bisa makrifah pada Allah, tak ubahnya mendung yang menutupi
cerahnya sinar mentari”.
Maksudnya, bila rahasia Nur semesta bisa disingkap, tapi
ternyata tak membuat tambah makrifah pada Allah, berarti ia keliru. Kedalaman
ilmu, ditunjang penelitian dan penemuan mutakhir dibidang kosmologi, sebenarnya
bisa mengantar seorang untuk makrifah. Sayangnya, banyak orang yang salah
kaprah tentang ini. Faktanya, sudah ribuan ilmuwan dan profesor melakukan riset
di Lab, berbagai kajian literatur dan seminar digalakkan, banyak penemuan yang
berhasil dipublikasi, tp ujung-ujungnya apa yang didapat??? Mereka malah stagnan. Berhenti pada hasil
risetnya atau malah sibuk dengan sederet gelar mentereng yang didapat. Meski ia
adalah sosok berdedikasi tinggi, tapi hakikatnya ia gagal. Sebab ilmunya tak
bisa mengantar pada makrifatullah.
Ilmunya menolak untuk mengenal Allah. Penemuannya menyilaukan
akalnya. Allah menyebut orang-orang ini dlm QS An-Nur [24]:40.
Kita harus takjub dengan seorang yang berkata: “Subhanallah”
saat melihat gunung. Berucap: “Allahu Akbar” ketika liat keindahan langit. Ini
resep ilmuan-ilmuan Muslim terdahulu. Tak mengherankan bila di abad pertengahan
muncul ilmuan-ilmuan Muslim yang juga sosok ulama. Ibnu Haytam yang fisikawan adalah
ulama. Al-Biruni, kimiawan sekaligus astronom terkemuka, juga ulama mumpuni. Tak
hanya itu, Ibnu Khaldun yang pakar georafis juga seorang ulama. Ibnu sina,
pakar kedokteran modern, juga ulama. Subhanallah... Dan masih banyak lagi ulama
yang ternyata juga ilmuan-ilmuan dengan kredibilitas tinggi. Inilah contoh ilmu
yang membawa makrifatullah.
Seisi ilmu yang ada di benak bisa menambah cinta pada Allah,
lebih mengenal Allah dan semakin dekat dengan Allah. Lalu, bagaimana cara kerja
kalam hikmah Ibnu Athaillah tadi? Jawabannya,
pertama kali yang harus dilakukan adalah menata hati. Mantapkan hati bahwa
segala interaksi kita dengan semesta alam ini adalah hanya untuk makrifah dan
menambah iman pada Allah.
Kisah yang di alami Imam Fakhruddin ar-Razi berikut ini
mungkin bisa menginspirasi perjalanan suluk kita. Seorang nenek mengintip
ar-Razi dari celah-celah retakan rumahnya. Saat itu ar-Razi dikerumuni banyak
orang. Si nenek lalu bertanya: “Siapa gerangan yang datang?” Orang disampingnya
menjawab, “Ia adalah Iman Fakhruddin ar-Razi, yang karangannya memuat banyak
sekali hujjah ilmiah seputar Wujudullah dan Wahdaniyatullah!” katanya mantap.
Dengar kata-kata itu, si nenek jawab enteng: “Andai tak dilanda seratus
keraguan dihati, tentu kita tak butuh seratus hujjah". Kata-kata nenek tadi lalu disampaikan ke
ar-Razi. Tapi beliau malah berdoa: “Ya Allah, beri aku iman seperti iman orang-orang
awam”.
Konteks ar-Razi disini bukan menolak ilmu. Tapi beliau
khawatir ilmu yang dimiliki akan mengekang akalnya. Khawatir kecerdasan akalnya
akan mengikat hatinya, hingga tak bisa mencapai kebenaran hakiki.
Naudzubillah...
Untuk orang yang level ilmunya sudah tinggi, apa mungkin yang
harus dilakukan? Agar ilmunya membawa makriah? Solusinya, kata al-Bhuti, saat
ingin suluk pada Allah, ia harus terus jalan. Menerobos lorong-lorong sempit dan
tikungan-tikungan yang menipu hingga akhirnya ia akan bisa makrifah kepada
Allah. Jangan coba-coba berhenti jika belum sampai makrifah.
Tanamlah dalam-dalam dihati, bahwa “Asalnya semesta alam ini gelap gulita, lalu Allah al-Haq meneranginya”.
----------------------------------------------------------------
“Alam semesta (al-kaun) itu kesemuanya berupa kegelapan,
sedang penerangnya, adalah dzahirnya (tampilnya) al-Haq (Allah) di dalamnya,
maka barangsiapa melihat alam semesta namun tidak menyaksikan Al-Haq di
dalamnya, atau padanya, atau sebelumnya, atau sesudahnya, maka benar-benar ia
telah tersilaukan oleh wujud
cahaya-cahaya, dan telah terhijab (tertutup) ia dari matahari
ma’rifat oleh awan-awan jejak
penciptaan.”
Ustadz Salim Bahreisy dalam syarahnya menulis:
Alam semesta yang mulanya tidak ada (adam) memang gelap,
sedang yang mendhohirkannya sehingga berupa kenyataan, hanya kekuasaan Allah padanya,
karena itu siapa yang melihat sesuatu benda di alam ini, kemudian tidak
terlihat olehnya kebesaran kekuasaan Allah yang ada pada benda itu, sebelum
atau sesudahnya, berarti ia telah disilaukan oleh cahaya. Bagaikan ia melihat
cahaya yang terang, lalu ia mengira tidak ada sumber cahya lain yang juga
merupakan sumber nyala cahaya yang dilhatnya tersebut. Padahal sebenarnya alam
seisinya ini pada hakikatnya terlihat semata-mata karena cahaya Allah semata.
Sedangkan Syaikh Fadhlala Haeri mensyarah:
Meskipun seluruh alam ini diciptakan dari nur ilahi, tetapi
semua wujudnya tampil sebagai cahaya dan bayang-bayang, baik dan buruk, siang
dan malam. Jika seorang pencari spiritual tidak melihat Allah yang memancarkan
nur-Nya di balik semua ini, berarti ia sedang diliputi kebingungan terhadap
permainan bayang-bayang eksistensial dan awan-awan realitas yang berubah-ubah.
Penciptaan manusia mempunyai makna dan tujuannya sendiri, yang berasal dari nur
azali, yakni sebab yang selalu ada di balik perubahan-perubahan fenomena
duniawi yang tampak.
Wassalamualaikum wr.wb
Referensi :
http://chirpstory.com/li/238257
https://alhikam2012.wordpress.com/2012/07/07/terjemah-al-hikam-karya-syaikh-ibnu-aththoillah-oleh-ustadz-salim-bahreisy-hikmah-no-14/
Terima kasih telah membaca artikel Terjemah Al Hikam 14 - Asalnya Semesta Alam Ini Gelap Gulita, Lalu Allah Al-Haq Meneranginya, diijinkan untuk menyalin semua yang ada di wastripedia, untuk disebarluaskan.