Bismillaahirrahmaanirrahiim
Assalamualaikum wr. wb
“Menunda amal perbuatan untuk menunggu kesempatan yang lebih baik, merupakan tanda kerasnya hati”
Kalam hikmah ini sebenarnya tak asing di telinga kita. Hanya
saja saat keadaan itu betul-betul ada, banyak yang tak menyadarinya. Hal
pertama yang harus dipahami adalah maksud kata “amal perbuatan” tadi, yang
secara harfiah meliputi semua ragam amal manusia.
Disini Ibnu Athaillah tidak men-generalisir semua ragam
aktifitas. Beliau hanya mengkhususkan pada aktivitas-aktivitas keagamaan saja. Maka
dalam hal ini butuh studi dan penjelasan sedetail mungkin guna memahami serta
sarana pengingat pada segenap publik nantinya.
Agar lebih mempermudah pembahasan, al-Buthi memulai dengan
membuat semacam contoh.
Contoh 1: Ada
seorang yang sedang getol menekuni bisnis dengan cara dagang. Ia selalu sibuk
mengurusi bisnisnya sepanjang waktu hingga ia kurang memperhatikan
kegiatan-kegiatan keagamaannya. Sering lalai dari perintah-perintah yang telah
ditetapkan Allah sebelumnya. Kemudian seorang temannya mengingatkan. Tapi ia
malah menghindar, seraya menyampaikan berbagai alasan yang bahkan tak masuk
akal. Dia mungkin bilang begini : yang Anda tanyakan tadi sudah ada dalam
plenning saya dan masuk dalam catatan agenda saya, namun bukan sekarang
waktunya, tapi nanti jika saya telah sukses jadi pebisnis. Sekarang saya harus
fokus pada bisnis dulu. Bila saya lewatkan kesempatan bisnis ini, saya takut
tak ada lowongan bisnis lagi dikemudian hari.
Contoh 2: Seorang
yang dilimpahkan harta yang banyak oleh Allah. Ia menjalani roda kehidupannya dengan
penuh kemakmuran. Lantas seorang temannya menegur; andainya ia menyisakan
sedikit harta buat orang-orang yang membutuhkan. Mungkinkah itu dilakukan? Dia
mungkin jawab gini: yang Anda katakan tadi tidak benar. Saya tak pernah lupa
kewajiban-kewajiban saya terhadap kaum fakir. Saya berjanji bila bisnis yang
saya tekuni sukses dan terus berkembang, saya akan menyalurkan 20% keuntungan
utk faqir-miskin, tapi jangan sekarang ya. Tunggu dulu sampai nanti bisnis saya
sukses besar, baru saya akan merealisasikan rencana itu.
Dari dua contoh tadi, bagaimana seharusnya kita bersikap?
Bagaimana pula menghadapi orang semacam ini?
Kita segarkan lagi hikmah tadi, “Menunda-nunda amal untuk menunggu kesempatan yang lebih baik,
merupakan tanda kerasnya hati”.
Mengahadapi orang macam ini, kata al-Buthi, harus dengan
otak dingin. Kecuali jika cara halus tak mempan, maka harus dengan sikap tegas.
Sekarang mari kita dalami kalam hikmah ini dengan beberapa perenungan yang
timbul dari hati lalu masuk ke hati pula.
Coba Anda tanyakan, apa yang membuatnya lalai dari
perintah-perintah Allah? Tanyakan pula, lalu apa tujuan Allah melahirkannya ke
dunia? Awal mula mungkin ia bingung,
atau memang tak punya jawaban! mari kita ajukan firman Allah berikut sebagai
jawaban.
Dan aku tidak
menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. Aku
tidak menghendaki rezeki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki
supaya mereka memberi-Ku makan. (QS 51:56-57)
Hai orang-orang yang
beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu
kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu, ketahuilah bahwa sesungguhnya
Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nya-lah kamu
akan dikumpulkan. (QS 8:24)
Hai orang-orang yang
beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya
adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan
tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan
selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (QS 66:6)
Dalam QS 51:56-57, QS 8:24 dan QS 66:6, yang intinya; Allah
mencipta seluruh makhluk hanya agar menyembah dan meng-esakan-Nya. Perintah
wahyu ini harga mati dan tak bisa ditawar-tawar. Maka ia semestinya tahu, bahwa
disamping harus menjalani hidup dengan benar, masih ada tuntutan-tuntutan Allah
yang tak boleh diremehkan: yaitu beribadah, melaksanakan segala peritah dan
menjauhi larangan-Nya.
Kenapa harus begitu? Sebab Allah telah menjamin rejeki
seluruh makhluk-Nya seluas dan selebar-lebarnya. Lho, apa hubungannya tuntutan
kewajiban-kewajiban Allah dengan rejeki yang diperoleh setiap hari? Jawabannya,
tentu saja ada. Misalkan Anda duta besar raja, lalu diutus untuk mengendalikan
sebuah wilayah. Tentu saja biaya hidupnya sudah ditanggung raja.
Kebutuhan-kebutuhan primer berupa sandang dan pangan beserta hal-hal lain yang
bisa menunjang kinerjanya, telah disediakan sepenuhnya oleh raja, tak lain agar
ia selalu fokus pada aktifitas penting yang dibebankan raja kepadanya. Agar ia
tak tolah-toleh mikir income hidup. Begitulah, perumpamaan kita hidup didunia.
Sebenarnya Allah telah menggariskan semua kebutuhan kita sejak dahulu kala.
Begitu besar kasih sayang Allah kepada kita. Rejeki untuk
diri dan keluarga kita telah disediakan berlimpah-limpah oleh Allah. Lalu,
apakah kita masih akan menunda kewajiban-kewajiban yang ditetapkan Allah kepada
kita? Patutkah kita terus mendurhakai Allah?
Baik, mari introspeksi
diri dengan renungan berikut. Coba tanyakan ke hati kita,
Bisakah kita jamin
nyawa ini sampai esok hari?
Mungkinkah
terus-menerus kita fokus pada aktivitas bisnis, padahal maut selalu mengintai
dibelakang kita?
Terlalu banyak contoh orang yang selama hidupnya begitu
bersemangat, namun tiba-tiba harus terhenti gara-gara kecelakaan maut, misalnya!
Renungilah dalam-dalam kalimat tadi kawan. Allah Maha
Perkasa. Al-Quran menyebut hal ini dalam QS 84:6. Coba direnungi...
Introspeksi kedua,
bagaimana mungkin kita mengedepankan
aktivitas bisnis atau hal-hal bersifat duniawi lainnya, seraya menunda
kewajiban-kewajiban inti kita kepada Allah? Padahal rejeki kita telah
ditanggung Allah, sering dimanja oleh Allah.
Tanyakan pada diri kita, buat apa semangat yang
menggebu-gebu jika akhirnya hanya mengalahkan semangat yang lebih inti, yaitu
ibadah.
Apa gunanya kaya bila itu membuat kita lupa kepada Allah,
dzat yang memberi kita rejeki. Kita adalah makhluk hina didepan Allah.
Introspeksi ketiga,
kita harus tahu bahwa setiap perintah dan larangan Allah pasti punya tujuan dan
hikmah tertentu. Yaitu guna mendidik jiwa dan membersihkan hati dari
kotoran-kotoran yang merusak. Hikmah-hikmah perintah Allah tadi beriringan dengan
aktivitas kita.
Jangan coba-coba untuk membedakan perintah-perintah Allah dengan
aktivitas duniawi, sebab itu akan buat kita merugi dikemudian hari. Umpamakanlah
kita ini adalah seorang pelayan. Seorang pelayan harus bisa menyajikan
menu-menu andalan tempatnya bekerja. Masakan dan lauk pauk yang disajikan
jangan dipisah dengan bumbu dan garam sebagai penyedap rasa. Semua bahan harus
sesuai resep. Bila semuanya sesuai resep maka makanan yang disantap akan terasa
enak di lidah. Coba bayangkan jika bahan-bahannya dipisah, Mungkinkah masakan
tadi akan dimakan. Tentu saja tidak. Begitu pula halnya dengan aktivitas
keseharian kita. Sesibuk apapun itu, jangan sampai melalaikan perintah-perintah
wajib Allah. Hidup ini terasa indah bila kita bisa mengatur waktu sebaik-baiknya.
Sekian Hikmah-18, mudah-mudahan memberi manfaat yang besar.
Wassalamualaikum wr.wb
Terima kasih telah membaca artikel Terjemah Al Hikam 18 - Menunda Amal Perbuatan Untuk Menunggu Kesempatan Yang Lebih Baik, Merupakan Tanda Kerasnya Hati, diijinkan untuk menyalin semua yang ada di wastripedia, untuk disebarluaskan.