Bismillaahirrahmaanirrahiim
Assalamualaikum wr. wb
"Keinginan seseorang untuk melakukan sesuatu pada waktu yang Allah tidak menginginkan hal itu, adalah sebuah kebodohan."
Waktu adalah ruang bagi takdir Tuhan menggariskan apa saja
hal yang akan menjadi aktifitas dan kesibukan manusia. Mula-mula Allah
menetapkan perkara yang menjadi kewajiban bagi manusia dan apa saja yang mesti
dijauhi dari laranganNya. Ini merupakan ketetapan yang harus dijalani oleh
semua makhluk sebagai kontrol dari mobilitas kegiatan dan profesi yang
ditekuni.
Di sisi lain Allah memberi ruang untuk manusia berikhtiar
(memilih) kesibukannya untuk menjadi seorang karyawan, pebisnis dll. Ini
sebagai jalan mengisi ruang kehidupan yang berdiri di atas garis aturan yang
berlaku. Ada hikmah luar biasa dibalik keragaman pembagian tugas serta
kesibukan yang dijalani setiap manusia. Bumi tempat berpijak memberi peluang untuk
dikelola dengan baik demi keberlangsungan kualitas hidup yang baik. Inilah inti
dari hikmah 17 yang sedang kita bahas.
Biarlah orang lain menekuni bidangnya, tanpa kita recoki mereka.
Pengelolaan tersebut tidak akan tercapai kecuali kita mau
memberdayakan dan memanfaatkan potensi alam yang tersedia. Pemberdayaan potensi
alam sangat membutuhkan tenaga terampil dari orang yang benar-benar mau
menekuni bidang itu. Hal itu terjadi jika semua elemen bangsa mau membidangi
tugas dan pekerjaan masing-masing sesuai bidangnya. Dan Allah telah menunjukkan
kemurahanNya dengan memberi kesempatan setiap orang menekuni pekerjaannya. Allah tidak memaksa mereka untuk menekuni
bidang yang tidak cocok dengan keterampilan dan hobi yang dimiliki. Demikianlah
syariat-keagamaan yang harus diterima. Bahwa keragaman aktifitas manusia tidak
terpisah dari upaya memakmurkan dunia.
Maka kita lihat sebagian orang menyibukkan diri dalam dunia
bisnis. Ada pula yang enjoy jadi pegawai. Ada juga yang concern di bidang
pertanian dan bercocok tanam. Ada pula yang terjun ke dunia kedokteran. Bahkan
juga ada yang memilih menyibukkan diri di bagian administrasi perkantoran dan
terjun di kancah politik nasional. Sehingga setiap kelompok sosial
terbagi-terbagi sesuai bidang masing-masing sesuai aturan Allah. Kendati
demikian semua itu tetap harus tunduk pada kontrol; dalam rangka memenuhi
perintah serta menjauhi larangan. Maka jika kemudian ada sebagian yang me-bully
profesi seseorang dengan dalih telah menempatkan diri terlampau jauh dari Allah,
akibat dari terlalu tekun membidangi karirnya, inilah yang oleh Ibnu Athaillah
disebut dengan sebuah kebodohan.
Bagaimana seseorang menuntut orang lain melakukan sesuatu
padahal Allah tidak menginginkan hal itu terjadi?. Sebelum me-bully mestinya
dia sadar bahwa apa yang mereka tekuni dan profesi yang digeluti adalah bagian
dari kehendak Allah. Inilah inti dari hikmah
17 yang sedang kita bahas. Biarlah orang lain menekuni bidangnya, tanpa kita
recoki mereka. Apalagi menuntut mereka untuk meninggalkan profesinya karena
dianggap membuatnya semakin jauh dari Allah.
Aturan yang Allah tetapkan untuk mengatur kehidupan
seseorang, kemudian ia jalani semua itu dengan baik, kenapa harus dibully? Lalu
Ibnu Athaillah mengajak kita flashback pada sejarah, kita lihat bagaimana
Rasulullah hidup bersama para sahabat. Rasulullah hidup di tengah keragaman kesibukan
sahabat-sahabatnya. Ada sahabat setiap pagi pergi mencangkul ke sawah. Ada
sahabat Nabi yang berprofesi sebagai pebisnis, setiap pagi mereka pergi ke
pasar untuk menjual barang dagangan mereka. Ada juga sahabat yang memilih tidak
menyibukkan diri dengan duniawi, bahkan memilih untuk senantiasa menyertai
Rasulullah. Seperti halnya ahlu-shuffah, memilih sibuk beribadah di masjid dan
senantiasa menghuni paviliun Masjid Nabawi.
Bagaimana sikap Nabi atas keragaman kesibukan para sahabat?
Rasanya tidak pernah ada catatan sejarah hitam akan hal itu. Nabi tidak pernah
mengganggu karir yang dipilih para sahabat, karena selain merupakan 'private
area', keragaman itu adalah sunnatullah.
Yang dikehendaki Ibnu Athaillah dalam hikmah ke 17 ini
bukanlah orang-orang yang hendak menggantikan agama dengan dunia. Sebagaimana
kandungan QS. at-Taubah: 24. Yaitu orang-orang sibuk dengan dunia karena memang
dunia sebagai cita-sita tertinggi di hatinya.
Fokus dari hikmah 17
ini adalah keragaman aktifitas manusia sebagai sunnatullah dalam ranah mencari
ridha Allah. Hampir sama nadanya dengan bunyi hikmah ke 9. Hanya, keberagaman aktifitas dan kesibukan ini harus merujuk pada
niatan untuk mengimplementasikan kandungan QS. Hud: 61.
"Dia telah
menciptakanmu dari bumi (tanah) dan menjadikanmu pemakmurnya" QS. Hud:
61.
Dengan demikian aktifitas yang berkelindan di dalam
keseharian manusia menjadi kian menyatu dalam konstruksi agama. Hal ini bisa
tercapai bila ketaatan, taqarrub dan melaksanakan perintah Allah sebagai
motif/alasan di dalam menjalani kesibukan.
Wassalamualaikum wr.wb
Referensi :
http://chirpstory.com/li/238833
[chirpstory-ngajihikam@sidogiri]
Terima kasih telah membaca artikel Terjemah Al Hikam 17 - Keinginan Seseorang Untuk Melakukan Sesuatu Pada Waktu Yang Allah Tidak Menginginkan Hal Itu, Adalah Sebuah Kebodohan, diijinkan untuk menyalin semua yang ada di wastripedia, untuk disebarluaskan.