Mas Sehat | Blog Tentang Kesehatan | Mas Sehat ~ Blog Tentang Kesehatan | www.mas-sehat.com

Recent Comments

Al Hikam 42 : Beranjaklah dari alam menuju Sang Pencipta!



Bismillaahirrahmaanirrahiim
Assalamualaikum wr. wb   

”Jangan beranjak dari satu keadaan menuju keadaan yang sama, niscaya perjalananmu tak ubah putaran keledai penggiling padi, garis finish yang ditempuh tak lain adalah garis pertama ia memulai, beranjaklah dari alam menuju Sang Pencipta!.”

“dan bahwasanya kepada Tuhanmulah kesudahan (segala sesuatu)” (Qs. An Najm : 42)

Perhatikan Hadis “Barang siapa Hijrah menuju Allah dan Rasul maka ia berhijrah menuju keduanya. Barang siapa hijrah demi (alasan) duniawi atau demi wanita yang ingin dinikahi, maka ia hijrah menuju apa yang ia niati.” Pahamilah Hadis ini dan kaitannya dengan hikam kali ini.

Semua selain Allah disebut Alam (kaun), Allah sebagai pencipta disebut mukawwin, alam adalah perantara menuju Allah sebagai tujuan utama. Keharusan bagi mereka yang ma’rifat dan beriman dengan mantap adalah menjadikan pariwara kehidupan sebagai media menggapai ridha Allah.

Namun, jika kesibukan seseorang bertumpu hanya dari dan menuju media yang lainnya, maka inilah perjalanan keledai giling sebenarnya. Sama sekali tidak benar anggapan bahwa tujuan utama kehidupan ini untuk menikmati segala keindahan, kemegahan dan kenikmatan yang tersedia.

Nalar dan logika manusia enggan mengatakan Allah menitipkan kesenangan dunia agar manusia segera menemui kelezatan di dalamnya. Mengapa? Karena keinginan dan kebutuhan manusia ada setelah wujudnya manusia, sebelum itu tidak pernah ada kepentingan-kepentingan itu. Oleh karenanya, sangat miris jika kepentingan yang hadir belakangan justru mengalahkan tujuan utama sebagai asal penciptaan?

Logika manusia sepakat, bahwa kemapanan hidup bagi manusia tak lebih hanyalah fasilitas dan perantara, bukan hikmah asal diciptakannya. Karena yang menjadi hikmah penciptaan manusia sebenarnya adalah pelaksana tugas sebagai khalifah di muka bumi untuk memakmurkan bumi seisinya.

Tentu pelaksanaan tugas ini mesti dilakukan sesuai manhaj serta aturan yang sesuai jalan yang mendatangkan ridha-Nya. Sehingga hal ini juga menjadi gejala lain bagi terasanya hikmah dan berkeadilan Tuhan. Setelah itu manusia berhak atas ganjaran amalnya.

Karena memiliki tugas utama sebagai khalifah, maka keberadaan rizqi berupa aneka ragam makanan berfungsi sebagai fasilitas bagi manusia. Sekali lagi hanya sekedar fasilitas, sehingga tidak selayaknya makanan dan hal lainnya menjadi bidikan utama yang harus diraihnya. Dengan demikian persembahan hidup manusia dalam kerangka mencari keridhaan adalah misi suci yang sudah seharusnya dijalani.

Jika kita dapat memahami hal ini, maka kita akan tahu batasan pentingnya hikmah ini, sekaligus bahaya jika tidak memperdulikannya. Seolah-olah Ibnu Athaillah berkata, “Ketahuilah, segala kenikmatan dunia hanyalah fasilitas untuk diperbantukan sebagai pengantar manusia menghadap keharibaan-Nya.  Maka jangan sekali-kali terpedaya oleh hal ini. Apalagi sampai menghamba pada nafsu dan kepentingan sesaat.”

Penyakit kronis yang diidap kebanyakan umat Islam dewasa ini karena mereka lupa pada pesan berharga yang ingin disampaikan dalam hikmah ini. Kita bisa mencontohkan pada Ujian Akhir Semester misalnya, kita harus mengetahui tujuan utama dilaksakannya UAS bagi siswa. UAS jika dilihat melalui celah sempit, hanya diartikan sebagai usaha mengajar nilai kognisi. Padahal ada tujuan lain jauh lebih penting.

Jika seseorang menganggap UAS sebagai seremoni mencapai ilai kognisi belaka, maka target utama pendidikan tidak mungkin tercapai. Padahal ulama telah mewanti-wanti agar kita selalu memurnikan niat dalam rangka belajar mengajar. Sehingga tercapai nilai murni pendidikan.

Kesalahan niat bisa merambat pada kesalahan lain yang lebih fatal, sehingga tidak sedikit lahir manusia pintar tapi tidak berperilaku dengan benar. Inilah bahaya laten yang diakibatkan oleh seseorang lupa akar dan hanya mementingkan hal lain yang tidak penting.

Perintah untuk beranjak dari perhatian pada alam menuju perhatian pada penciptanya ini jangan kemudian disalah faham. Jangan difahami bhw Ibnu Athaillah sedang melarang kita dari interaksi bebas dengan dunia yang ada di sekeliling kita.

Berulang kali Ibnu Athaillah menyadarkan, bahwa kita tidak mungkin lari tatanan dunia, yang perlu dihindari adalah hal-hal yang membuat lalai. Terlebih kita tahu bahwa tujuan inti kehidupan ini melaksankan tugas dengan baik sebagai khalifah di bumi yang memakmurkan dunia. Lebih parah lagi jika seseorang justru beranjak dari perhatian pada Allah menuju perhatian pada dunia tempat ia menghabiskan waktu.

Bagaimana hal ini bisa terjadi? Yaitu ketika dalam amal ibadah seseorang terselip niatan untuk meraih keinginan- keinginan duniawi. Inilah langkah mundur yang jauh lebih buruk dari keadaan yang pertama. Adakah langkah jitu untuk selamat dari keadaan buruk ini?

Caranya adalah dengan kembali pada hikmah yang memerintah seseorang lari dari hal yang pasti untuk mengejar sesuatu yang belum pasti. Bahwa seseorang bagaimanapun memiliki batas usia sebagai kisah akhir dari amal ibadah. Setelah itu akan ada penghitungan amal. Maka kesadaran ini akan membentuk pemikiran positif untuk selalu berpikir ‘god-oriented’ bukan melulu tentang meningkatkan profit.

Wassalamualaikum wr.wb

Referensi :
http://chirpstory.com/li/242510
Terima kasih telah membaca artikel Al Hikam 42 : Beranjaklah dari alam menuju Sang Pencipta!, diijinkan untuk menyalin semua yang ada di wastripedia, untuk disebarluaskan.

Recent Posts :