Bismillaahirrahmaanirrahiim
Assalamualaikum wr. wb
”Jangan beranjak dari satu keadaan menuju keadaan yang sama, niscaya perjalananmu tak ubah putaran keledai penggiling padi, garis finish yang ditempuh tak lain adalah garis pertama ia memulai, beranjaklah dari alam menuju Sang Pencipta!.”
“dan bahwasanya kepada Tuhanmulah kesudahan (segala sesuatu)” (Qs. An Najm : 42)
Perhatikan Hadis “Barang siapa Hijrah menuju Allah dan Rasul
maka ia berhijrah menuju keduanya. Barang siapa hijrah demi (alasan) duniawi atau
demi wanita yang ingin dinikahi, maka ia hijrah menuju apa yang ia niati.”
Pahamilah Hadis ini dan kaitannya dengan hikam kali ini.
Semua selain Allah disebut Alam (kaun), Allah sebagai
pencipta disebut mukawwin, alam adalah perantara menuju Allah sebagai tujuan
utama. Keharusan bagi mereka yang ma’rifat dan beriman dengan mantap adalah
menjadikan pariwara kehidupan sebagai media menggapai ridha Allah.
Namun, jika kesibukan seseorang bertumpu hanya dari dan
menuju media yang lainnya, maka inilah perjalanan
keledai giling sebenarnya. Sama sekali tidak benar anggapan bahwa tujuan
utama kehidupan ini untuk menikmati segala keindahan, kemegahan dan kenikmatan yang
tersedia.
Nalar dan logika manusia enggan mengatakan Allah menitipkan
kesenangan dunia agar manusia segera menemui kelezatan di dalamnya. Mengapa?
Karena keinginan dan kebutuhan manusia ada setelah wujudnya manusia, sebelum itu
tidak pernah ada kepentingan-kepentingan itu. Oleh karenanya, sangat miris jika
kepentingan yang hadir belakangan justru mengalahkan tujuan utama sebagai asal
penciptaan?
Logika manusia sepakat, bahwa kemapanan hidup bagi manusia
tak lebih hanyalah fasilitas dan perantara, bukan hikmah asal diciptakannya. Karena
yang menjadi hikmah penciptaan manusia sebenarnya adalah pelaksana tugas
sebagai khalifah di muka bumi untuk memakmurkan bumi seisinya.
Tentu pelaksanaan tugas ini mesti dilakukan sesuai manhaj
serta aturan yang sesuai jalan yang mendatangkan ridha-Nya. Sehingga hal ini
juga menjadi gejala lain bagi terasanya hikmah dan berkeadilan Tuhan. Setelah
itu manusia berhak atas ganjaran amalnya.
Karena memiliki tugas utama sebagai khalifah, maka
keberadaan rizqi berupa aneka ragam makanan berfungsi sebagai fasilitas bagi
manusia. Sekali lagi hanya sekedar fasilitas, sehingga tidak selayaknya makanan
dan hal lainnya menjadi bidikan utama yang harus diraihnya. Dengan demikian
persembahan hidup manusia dalam kerangka mencari keridhaan adalah misi suci
yang sudah seharusnya dijalani.
Jika kita dapat memahami hal ini, maka kita akan tahu
batasan pentingnya hikmah ini, sekaligus bahaya jika tidak memperdulikannya.
Seolah-olah Ibnu Athaillah berkata, “Ketahuilah, segala kenikmatan dunia
hanyalah fasilitas untuk diperbantukan sebagai pengantar manusia menghadap
keharibaan-Nya. Maka jangan sekali-kali
terpedaya oleh hal ini. Apalagi sampai menghamba pada nafsu dan kepentingan
sesaat.”
Penyakit kronis yang diidap kebanyakan umat Islam dewasa ini
karena mereka lupa pada pesan berharga yang ingin disampaikan dalam hikmah ini.
Kita bisa mencontohkan pada Ujian Akhir Semester misalnya, kita harus
mengetahui tujuan utama dilaksakannya UAS bagi siswa. UAS jika dilihat melalui
celah sempit, hanya diartikan sebagai usaha mengajar nilai kognisi. Padahal ada
tujuan lain jauh lebih penting.
Jika seseorang menganggap UAS sebagai seremoni mencapai ilai
kognisi belaka, maka target utama pendidikan tidak mungkin tercapai. Padahal
ulama telah mewanti-wanti agar kita selalu memurnikan niat dalam rangka belajar
mengajar. Sehingga tercapai nilai murni pendidikan.
Kesalahan niat bisa merambat pada kesalahan lain yang lebih
fatal, sehingga tidak sedikit lahir manusia pintar tapi tidak berperilaku dengan
benar. Inilah bahaya laten yang diakibatkan oleh seseorang lupa akar dan hanya
mementingkan hal lain yang tidak penting.
Perintah untuk beranjak dari perhatian pada alam menuju
perhatian pada penciptanya ini jangan kemudian disalah faham. Jangan difahami
bhw Ibnu Athaillah sedang melarang kita dari interaksi bebas dengan dunia yang
ada di sekeliling kita.
Berulang kali Ibnu Athaillah menyadarkan, bahwa kita tidak
mungkin lari tatanan dunia, yang perlu dihindari adalah hal-hal yang membuat
lalai. Terlebih kita tahu bahwa tujuan inti kehidupan ini melaksankan tugas dengan
baik sebagai khalifah di bumi yang memakmurkan dunia. Lebih parah lagi jika
seseorang justru beranjak dari perhatian pada Allah menuju perhatian pada dunia
tempat ia menghabiskan waktu.
Bagaimana hal ini bisa terjadi? Yaitu ketika dalam amal
ibadah seseorang terselip niatan untuk meraih keinginan- keinginan duniawi. Inilah
langkah mundur yang jauh lebih buruk dari keadaan yang pertama. Adakah langkah
jitu untuk selamat dari keadaan buruk ini?
Caranya adalah dengan kembali pada hikmah yang memerintah
seseorang lari dari hal yang pasti untuk mengejar sesuatu yang belum pasti. Bahwa
seseorang bagaimanapun memiliki batas usia sebagai kisah akhir dari amal
ibadah. Setelah itu akan ada penghitungan amal. Maka kesadaran ini akan
membentuk pemikiran positif untuk selalu berpikir ‘god-oriented’ bukan melulu
tentang meningkatkan profit.
Wassalamualaikum wr.wb
Referensi :
http://chirpstory.com/li/242510
Terima kasih telah membaca artikel Al Hikam 42 : Beranjaklah dari alam menuju Sang Pencipta!, diijinkan untuk menyalin semua yang ada di wastripedia, untuk disebarluaskan.