”Bu, aku jadi ingin tahu, kenapa sih ibu dan ayah
sering bilang sayang, shaleh, dan pintar sama aku, adek Hasany dan adek
Rasikh?” Tanya Aulia pada ibunya.
“Akh,
yang benar, kak?” tanya Ibu seakan tidak percaya.
“Masa
sih, ibu lupa, ya? Setiap kali mengingatkan aku untuk belajar, ibu bilang,”Aulia
sayang, ayo sekarang waktunya baca buku pelajaran untuk besok hari. Insyaallah
besok menjadi hari-hari yang menyenangkan begitu masuk sekolah karena sudah
tahu kira-kira apa yang akan dijelaskan bapak ibu guru. Kalau ada yang belum
jelas setelah membaca buku pelajaran hari ini, Mbak Lia kan tinggal meminta
penjelasan sama bapak ibu guru. Bisa jadi bahan diskusi di kelas dan suasana
kelas menjadi lebih ramai”. Setiap kali mengajak aku, Hasany, dan Rasikh untuk
sholat berjama’ah di mushala rumah, ibu selalu bilang, “Anak-anakku sayang yang
shaleh semuanya, alhamdulillaahirabbil’aalamiin
sekarang waktunya shalat sudah tiba. Ayo, segera ambil wudhlu, kita mau ketemu
sama Allah Subhanahuwata’ala, sayang.
Bertemu Allah Ta’ala yang selalu menyayangi
kita, selalu melindungi kita, senang mendengarkan dan mengabulkan setiap orang
yang berdo’a kepada-Nya.”
”Iya,
kakak Lia benar, Bu. Ayah juga begitu, Bu.” Ujar Hasany dan Rasikh bersamaan.
”Coba, hampir setiap hari kan ayah ngirim SMS sama kita, ”Rasikh, Hasany, Aulia,
dan Ibu sayang, sudahkah hari ini membaca Alquran?” Kok pakai kata-kata sayang, sholeh, dan pintar
segala? Kenapa sih, Bu? ”
”Alhamdulillaahirabbil’aalamiin.
Anak-anak Ibu dan ayah memang sholeh-sholeh dan pintar-pintar semuanya. Senang
bertanya, itu bukti nyata dari Allah Ta’ala
bagi ibu dan ayah, bahwa kalian memang anak-anak yang pintar. Anak yang pintar
itu kan ciri dari anak sholeh dan pasti akan ditinggikan derajatnya oleh Allah Ta’ala.
”Apa
yang Mbak Lia, Mas Hasany, dan Mas Rasikh rasakan setiap kali ibu dan ayah
bilang sayang, sholeh, dan pintar?” Ibu balik
bertanya sama Aulia.
“Yang
jelas aku senang saat dipanggil seperti itu, Bu.” Jawab Aulia.
”Benar,
Bu. Hasany merasa ibu dan ayah benar-benar sayang sama aku,” jawab Hasany.
”Kalau
aku merasa diperhatikan,” jawab Rasikh tidak mau ketinggalan.
”Terus,
setelah merasa senang, merasa disayang, dan merasa diperhatikan oleh ibu sama ayah,
apa yang muncul dalam pikiran Mbak Lia, Mas Hasany, dan Mas Rasikh?” tanya Ibu.
”Karena
merasa senang, aku pikir aku pasti bisa dan alhamdulillaahirabbil’alaamiin
ternyata memang aku bisa mengerjakan dengan baik, Bu. Alhamdulillaah aku jadi pede abis,
Bu, percaya diri. Aku jadi lebih bersemangat kalau melakukan sesuatu.” Jawab
Aulia.
”Aku
jadi lebih berani, Bu. Sekarang aku berani, tidak perlu ditungguin Ibu lagi saat aku sekolah. Aku bermain bersama
teman-teman. Aku punya banyak teman dan mereka senang main sama aku.”Jawab
Hasany.
”Kalau
Rasikh tambah semangat dan tambah yakin, Bu, Rasikh bisa jadi anak sholeh,
pintar, dan penyayang seperti yang sering ibu bilang sama Rasikh, Mas Hasany,
dan Mbak Lia.”Jawab Rasikh dengan mantap.
”Nah, Alhamdulillah, sekarang terjawab toh pertanyaannya, kenapa ibu dan ayah sering berkata-kata sayang,
sholeh, dan pintar sama Mbak Lia, Mas Hasany, dan Mas Rasikh. Kata-kata baik
yang ibu dan ayah ucapkan tersebut mempengaruhi perasaan, pikiran, dan perilaku
Mbak Lia, Mas Hasany, dan Mas Rasikh. Perasaan, pikiran, dan perilaku baik yang
ditampilkan Mbak Lia, Mas Hasany, dan Mas Rasikh juga membawa pengaruh baik
pula terhadap orang-orang dan lingkungan di mana kita tinggal. Jadi kata-kata
baik yang kita ucapkan membawa pengaruh yang baik, bukan hanya pada diri
sendiri, keluarga kita, tapi juga pada lingkungan yang lebih luas.”
”Ibu
jadi ingat sama cerita yang pernah disampaikan ayah saat mengajar di kelas. Sebuah
penelitian eskperimen yang dilakukan oleh Robert Rosenthal dan Lenore Jacobson
tahun 1968 pada anak-anak Sekolah Dasar. Mereka berdua memberikan sebuah test
kecerdasan pada murid-murid SD tersebut dan kemudian menyampaikan hasilnya pada
para guru kelas bahwa sejumlah anak memiliki kecerdasan yang luar biasa
(padahal kecerdasan anak-anak tersebut sebenarnya berada pada tingkat
kecerdasan rata-rata). Pada akhir tahun kedua peneliti ini kembali ke SD
tersebut dan melakukan pengetesan kembali pada murid-murid SD tersebut.
Ternyata hasilnya cukup mengejutkan: anak-anak yang sebenarnya punya kecerdasan
rata-rata tapi kemudian diberitahukan sebagai anak-anak dengan kecerdasan luar
biasa, menunjukkan peningkatan skor kecerdasan yang lebih tinggi daripada
anak-anak lainnya. Para guru kelas di SD tersebut rupanya memberi perlakuan
yang lebih kepada anak-anak yang dilabeli kedua peneliti tadi sebagai anak-anak
dengan kecerdasan luar biasa: lebih banyak mendapat perhatian, lebih sering
mendapat pujian, lebih sering dimintai pendapatnya, dan seterusnya. Perlakuan
lingkungan yang demikian memotivasi anak-anak tersebut untuk menjadi seperti apa yang dilabelkan
kepada mereka.”
Irwan Nuryana Kurniawan, M.Psi. Dosen
Psikologi Universitas Islam Indonesia
foto http://photos1.blogger.com/blogger/2096/1106/1600/MasGilang.jpg
Terima kasih telah membaca artikel Kecerdasan Luar Biasa , diijinkan untuk menyalin semua yang ada di wastripedia, untuk disebarluaskan.