Bismillaahirrahmaanirrahiim
Assalamualaikum wr. wb
"Tiada hal yang lebih berguna bagi hati, dari pada uzlah yang mengantarkan seseorang ke dalam medan tafakkur."
Kalam hikmah ini tak lain adalah lanjutan dari hikmah
sebelumnya, yang menekankan seseorang untuk membenamkan diri di bumi khumul. Sedangkan
pada hikmah kali ini tersirat penekanan agar seyogyanya seseorang melakukan
uzlah yang mengantarnya menuju tafakkur.
Lantas adakah perbedaan antara uzlah dan khumul di sini?
Tentu berbeda. Mari kita ikuti panjelasan Al-Buthi
berikut ini.
Khumul membawa
seseorang bersembunyi dari popularitas dirinya, bahkan menjauh dari ketenaran
identitas sama sekali. Uzlah adalah
tuntutan untuk menyendiri yang mengantar pada perenungan arti hidup dan pada
gilirannya membawa seseorang mengenal Allah. Uzlah dan Khumul penting dalam
tradisi suluk. Perpaduan antara keduanya akan menjadi manhaj paripurna untuk
sampai ke haribaanNya.
Tapi fokus hikmah ini
adalah uzlah (menyendiri). Sekarang kita mulai pada uraian terkait makna kata
demi kata dari hikmah ini.
Kata hati disini memiliki dua makna mengacu pada arti qalbu dalam
al-Quran QS. Qaf: 37= akal dan ar-Ro'du: 28= Organ tubuh. Sedang yang
dikehendaki qalbu/hati adalah perasaan yang bersumber di dalam orangan tubuh
seperti, rasa cinta, suka, takut dan takdzim.
Lalu Ibnu Athaillah
menyebut uzlah dalam bentuk nakirah (indefinit) yang memberi pemahaman bahwa
uzlah mestinya dilakukan sewaktu-waktu dan sebentar. Jangan diartikan perintah uzlah ini harus menjauh dari kerumunan
manusia secara berkesinambungan namun tak ada hasil apa-apa. Pengertian ini
bisa diambil seandainya kata uzlah diungkapkan dengan bentuk isim ma'rifat
(definit) menjadi al-Uzlah misalnya. Hal ini tidak tepat, karena target dari
perintah uzlah adalah meluangkan waktu, barang sebentar untuk merenung dan
tafakkur. Tidak dibenarkan langkah seseorang menyendiri di dalam gua menjauh dari
tatanan sosial kehidupan, dengan alasan mengamalkan uzlah.
Uzlah dengan pengertian sempit seperti itu menafikan fitrah
manusia sebagai makhluk sosial yang cenderung ingin menjalani kehidupan
bersama. Kesimpulannya uzlah bukan tujuan utama, hanya sekedar media untuk
mengantar seseorang pada luasnya tafakkur. Jadi bila seseorang menghabiskan
waktu dalam kesendirian, namun tidak diisi dengan merenungi kesejatian hidup,
ya tak ada gunanya!
Yang diperbolehkan dalam Islam adalah uzlah sebagai ruang bagi
seseorang beranjak dari kekacauan arus duniawi untuk mencari ketenangan. Dalam
kesempatan itu ia leluasa berpikir tentang hal apa saja yang mendekatkan pada
Allah dan menjauhi sebab-sebab yang membuatnya lalai.
Poin utama yang perlu digarisbawahi adalah kombinasi uzlah dan
tafakkur akan menjadi manhaj paripurna untuk sampai ke hadariotillah. Logikanya
begini, uzlah ibarat upaya mencegah dari sumber-sumber penyakit (pantangan) bagi
orang sakit, sedang tafakkur adalah obatnya. Kita lihat orang sakit tahan dari
godaan makanan yang dilarang sebagai upaya pencegahan, namun ia enggan minum
obat. Kira-kira sembuh? Sebaliknya Si
sakit rajin minum obat sesuai anjuran medis, namun pada saat yang sama ia
melahap pantangan sebagai sumber penyakit.
Begitulah penalaran Al-Buthi mengenai uzlah dan tafakkur
sebagai pintu memasuki ruang tak berjarak antara Tuhan-hamba. Lalu apa yang
harus dilakukan oleh seseorang dalam uzlahnya? 'Menu' apa yang menutrisi
spiritual seseorang dalam kesendirian?
Pertama, kita harus paham inti dari tafakkur. Yaitu upaya
pendekatan untuk mengenali jati diri sebagai hamba Allah. Setelah ia tahu
posisi dirinya dihadapan Allah maka ia tahu posisi Allah bagi dirinya. Di
sinilah benih-benih mahabbah akan bersemi. Ia juga bisa mengisi uzlah dan
tafakkurnya dengan banyak membaca dan
merenungi ayat al-Quran. Inilah upaya terbaik yang harus dilakukan. Dalam
tadabburnya ia merasakan betul, betapa Allah benar-benar sedang berbicara, mengarahkan
serta menegur kesalahan-kesalahannya.
Ia juga bisa mengisi uzlahnya dengan berbicara kepada naluri
pribadinya, "Siapa saya?", "Dari mana saya?",
"Bagaimana saya hadir ke dunia"?. Atau dengan bahasa, "Berapa
lama lagi saya hidup?", “Mengapa saya tidak memperbanyak pahala dan
kebaikan selama ini dan justru memperbanyak dosa?".
Lalu adakah dalil dari uzlah dan tafakkur yang bisa
dipertanggungjawabkan? Atau jangan-jangan ini hanya ajaran yang tak dijumpai
presedennya dalam agama?. Tentu tidak. Al-Quran dan Hadis, bahkan sirah
nabawiyah juga bisa kita catut sebagai dalih atas kebenaran uzlah-tafakkur ini.
Dalil al-Quran diungkap dalam QS. Saba': 46. “Katakanlah: "Sesungguhnya aku hendak
memperingatkan kepadamu suatu hal saja, yaitu supaya kamu menghadap Allah
(dengan ikhlas) berdua-dua atau sendiri-sendiri; kemudian kamu fikirkan
(tentang Muhammad) tidak ada penyakit gila sedikitpun pada kawanmu itu. Dia
tidak lain hanyalah pemberi peringatan bagi kamu sebelum (menghadapi) azab yang
keras.”
Dalil Hadis terjawab dalam pertanyaan Uqbah bin Abi Amir tentang
apa itu keselamatan. Rasulullah menjawab, "Jagalah
lisanmu, perluaslah rumahmu dan tangisilah kesalahan-kesalahanmu."
Adapun dalil sirah perjalanan Nabi yaitu Rasulullah
menjelang terutusnya sering keluar masuk gua hira' dalam rangka khalwat
(menyendiri). Lantas apakah ini berlanjut hingga Rasul diutus?. Sepertinya
memang tidak ada riwayat yang menyebut Nabi masuk gua hira' pasca kenabian. Namun
bukan berarti Nabi berhenti beruzlah dan bertafakkur. Melainkan beliau lanjutkan
aktifitas ini di kediamannya. Tidak lagi di gua hira'.
Saat-saat penting khalwat dan munajat Nabi adalah saat
langit mulai pekat dan sinarnya remang menuju fajar, di sinilah waktu terindah
Baginda. Lantas apa rahasia di balik #qiyamulail yang dilakukan Nabi?
Sampai-sampai QS. Al-Muzammil: 1-4 mengabadikannya?
( 1 ) Hai orang yang berselimut (Muhammad),
( 2 ) bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari,
kecuali sedikit (daripadanya),
( 3 ) (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari
seperdua itu sedikit.
( 4 ) atau lebih dari seperdua itu. Dan bacalah Al
Quran itu dengan perlahan-lahan.
Apa yang memotivasi Nabi tidak menghabiskan rakaat plus
perenungan tilawah di siang hari? bedakah ibadah malam dan siang? Begini, jika
munajat beliau lakukan di siang hari maka makna khalwat tidak akan tercapai, sebab
siang hari adalah pergumulan aktifitas manusia. Akan ada banyak penghalau untuk
bisa tenang dalam tafakkur dan mencapai kejernihan hati karena terlalu banyak
hal-hal duniawi yang memalingkan. Maka saat paling tepat untuk mencapai
kejernihan hati dan ketenangan tafakkur adalah malam hari, di saat kesibukan
dunia terhenti oleh istirah.
Akhiran, al-Buthi
menutup hikmah 12 dengan sebuah tamsil tentang uzlah dan tafakkur yang mudah
dicerna oleh akal manusia. Bayangkan anda sedang berjalan di sebuah Mall dengan
klien lalu terjadi perbincangan seputar ekonomi bisnis. Syahdan ada orang baca
#Hadis "Andai manusia diberi
setumpuk uang maka ia akan meminta dua tumpuk, di beri 2 tumpuk meminta 3
tumpuk, yang dpt memenuhi isi perut anak Adam hanyalah debu dan Allah akan
menerima taubat orang-anak yang bertaubat." Hadis riwayat Abdullah bin
Abbas.
Kira-kira adakah pengaruh yang bisa diserap dari Hadis
tersebut di tengah asyiknya perbincangan ekonomi bisnis yang berlangsung tadi? Tidak
akan banyak pengaruh bagi anda, sebuah Hadis sekalipun, yang disampaikan dalam
situasi dan kondisi yang tidak tepat. Dalam kondisi keimanan yang optimal
sekalipun seseorang bisa menghargai Hadis di atas, setelah itu melupakannya
selang 3 menit berlalu.
Lalu bayangkan anda terbangun di malam hari dengan kondisi
jasmani dan rohani yang siap untuk munajat dan tafakkur, kemudian disampaikan
padanya Hadis di atas, atau Hadis lain yang sama. Maka apa yang terjadi?
Pengaruhnya jauh lebih dahsyat. Seperti itulah Al-Buthi memberikan analogi
perbedaan tafakkur di siang dan malam hari, tadabbur dalam keramaian dan
kesendirian. Maka akan terasa berbeda kedahsyatan pengaruhnya.
Semoga sekelumit uraian ini membawa pencerahan bersama
hidayah dari Allah. Amin.
----------------------------------------------------------------
Ustadz Salim Bahreisy
ra mensyarah:
Rasulullah saw bersabda: “Perumpamaan
kawan yang tidak baik bagaikan tukang besi yang sedang membakar besi, jika
engkau tidak terbakar oleh percikan apinya, maka akan terkena sengatan bau
tidak sedapnya.”
Allah mewahyukan kepada Nabi Musa as :”Wahai putra Imran, waspadalah selalu dan pilihlah untuk dirimu
sahabat, dan setiap sahabat yang tidak membantumu untuk berbuat taat kepada-Ku,
maka ia adalah musuhmu.”
Demikian pula wahyu Allah kepada Nabi Daud as :”Hai Daud, mengapakah engkau menyendiri?
Daud menjawab,’Aku menjauhkan diri dari
makhluk untuk mendekat kepada-Mu.’ Maka Allah pun berfirman: ‘Hai Daud, waspadalah selalu, dan pilihlah
sahabat untukmu, dan setiap yang tidak membantumu berbakti kepada-Ku, maka itu
adalah musuhmu, karena dia akan menyebabkan keras hatimu, serta jauh dari-Ku.”
Nabi Isa as bersabda:”Jangan
berkawan dengan orang-orang yang ‘mati’, niscaya mati hatimu. Ketika beliau
ditanya:’Siapakah mereka yang ‘mati’ itu? Beliau menjawab: ‘Mereka yang rakus kepada dunia.”
Rasulullah saw bersabda: “Yang
sangat aku khawatirkan terhadap umatku adalah (mereka) lemah dalam iman
keyakinan.”
Nabi Isa as bersabda:”Berbahagialah
orang yang perkataannya dzikir, dan diamnya tafakur serta pandangannya
perhatian. Sesungguhnya orang yang sempurna akalnya ialah yang selalu muhasabah
demi hari kemudian sesudah mati.”
Sahl bin Abdullah
At-Tustary ra berkata: Kebaikan itu terhimpun dalam 4 perkara, dan dengan
itu tercapai maqam wali (disamping memenuhi kewajiban syariat), yaitu:
1. Lapar
2. Diam
3. Uzlah
4. Bangun/terjaga di Malam Hari (untuk shalat, munazat, dan
ibadah kepada Allah).
Sedangkan Syarah
Syeikh Fadhlala Haeri dalam terjemahnya:
Untuk kesehatan spiritual, kita harus berpaling dari
keinginan-keinginan dan ambisi-ambisi, kebingungan-kebingungan, dan syirik.
Hati memerlukan pengalaman uzlah(menyendiri), kemudian diisi kembali melalui
tafakur dan peningkatan kesadaran kepada Tuhan. Kita harus menyeimbangkan
pengalaman lahir dengan keadaan dan cahaya batin, sehingga pada waktunya nanti
kita melihat seluruh perwujudan dan pengalaman yang berasal dari Zat Rabb Yang
Maha Esa.
Wassalamualaikum wr.wb
Sumber :
http://chirpstory.com/li/237647
https://alhikam2012.wordpress.com/2012/07/07/terjemah-al-hikam-karya-syaikh-ibnu-aththoillah-oleh-ustadz-salim-bahreisy-hikmah-no-12/
Terima kasih telah membaca artikel Terjemah Al Hikam 12 - Tiada hal yang lebih berguna bagi hati, dari pada uzlah yang mengantarkan seseorang ke dalam medan tafakkur, diijinkan untuk menyalin semua yang ada di wastripedia, untuk disebarluaskan.