Assalamualaikum ww. wb
“Istirahatkan jiwamu dari pengaturan. Karena apa yang telah ditunaikan oleh selainmu, tak perlu ditunaikan olehmu.”
Sebagian orang memandang hikmah keempat ini sebagai
perlawanan bagi hikmah terdahulu (hikmah kedua) yaitu “Kehendakmu untuk tajrid tatkala Allah
menempatkanmu pada status asbab, adalah syahwat yang tersembunyi.” Sebab,
hikmah kedua di atas jelas menyeru untuk berbuat, berusaha, fungsikan
sebab-sebab dan perantara yang disediakan Allah.
Tapi pada hikmah 4 ini, Ibnu Atha’illah mewarning kita untuk
mengistirahkan hati dan jiwa dari jerih payah usaha. Ibnu Atha’illah menasihati
agar tidak perlu bersusah diri dalam berusaha, sedang Allah telah membuat ia
beristirahat darinya.
Sebetulnya, tidak ada pertentangan pada dua hikmah di atas.
Bahkan antara keduanya ada keserasian dan keterpaduan. Ada perbedaan mendasar
antara berusaha melalui sebab-sebab dan perantara, dan pengaturan dalam hati
terkait sebab-sebab dan perantara itu.
Berusaha melalui sebab-sebab adalah aktifitas badani; seperti
pergi ke pasar untuk berdagang, pergi ke universitas untuk belajar, dll. Adapun
“mengatur” adalah aktifitas pikiran dan ketetapan akal. Artinya seseorang
mereka-reka dalam hatinya, bahwa dengan usaha yang ia lakukan melalui segenap
sebab dan perantara itu ia akan menghasilkan laba dan kesuksesan. Rekaan-rekaan
dari hasil akhir ini ia tanamkan di dalam hatinya.
Perhatikanlah, di sini Ibnu Atha’illah menggunakan ungkapan
“arih nafsaka” (istirahatkan hatimu). Beliau tidak menggunakan ungkapan “arih
jismaka” (istirahatkan tubuhmu), atau “ab‘id jismaka” (hindarkan tubuhmu). Jadi,
“bekerja” muncul dari jasmani, dan ini diperintah. Adapun “mengatur” muncul dari
hati dan pikiran, dan itu yang dilarang. Maka, hikmah ini telah mengajarkan hal
prinsip yang sangat kita butuhkan dalam mengarungi kehidupan ini.
Misal, kita berangkat ke pasar, lalu bekerja seperti halnya
orang lain. Kita fungsikan segenap sebab, perantara, dan peluang. Lalu jika
datang seseorang bertanya kepadanya: “Apa yang ada di balik semangat Anda dalam
bekerja ini?” Maka ia menjawab: “adalah kewajiban yang diembankan oleh Allah padaku.
Aku memenuhi kewajiban itu sebagaimana mestinya. “Lalu mengenai apa yang akan
diperbuat Allah selepas tertunaikannya kewajiban itu, tentu itu kembali pada
qadha’ Allah. Inilah konsep bekerja dan berkeyakinan Islami yang dituturkan
Ibnu Atha’illah, yaitu bekerja melalui sebab-sebab dan perantara yang telah ada
sesuai aturan syariat, setelah itu menyerahkan sepenuhnya kepada Allah. Karena
memang kita hanya diminta berusaha, sebab sebatas itulah kapasitas dan kemampuan
kita.
Allah tak membebani kita dgn apa yang tidak kita mampu. Maka Allah melarang kita memikirkan hasil dari apa yang kita kerjakan.
Demikian Bab IV.
Semoga bermanfaat.
Wassalamualaikum ww. wb
Sumber :
Kitab Al-Hikam Al-Athoiyah Syarh wa Tahlil
https://twitter.com/sidogiri
http://chirpstory.com/li/236320
Terima kasih telah membaca artikel Ngaji Hikam Bab 4 : Istirahatkan Jiwamu, diijinkan untuk menyalin semua yang ada di wastripedia, untuk disebarluaskan.