Bismillaahirrahmaanirrahiim
Assalamualaikum wr. wb
"Jangan merasa gembira atas perbuatan taat karena
engkau merasa telah dapat melaksanakannya , tetapi bergembiralah atas perbuatan
taat itu karena ia adalah karunia dan taufiq dari Allah kepadamu"
Kita akan membicarakan persoalan sikap yang perlu diambil
ketika Allah mentakdirkan kita untuk selalu mengerjakan taat. Yang terjadi
selama ini, ketika kita selesai beribadah/mengerjakan kebaikan, kita bahagia
sekali. Gembira, bahkan ada yang bangga. Sepintas ini tidak ada masalah
apa-apa, wong cuman gembira saja, apa salahnya, tidak ada bukan? Namun
sejatinya tidak seperti itu. Bahagia setelah mengerjakan ibadah/ketaatan itu
ada ilmunya, tidak asal bahagia saja.
Al-Buthi memberikan analisa yang sangat bagus di dalam
permasalah ini, dengan bertendensi pada kalam hikmah tadi itu. Yaitu ada dua
model orang bahagia di kala berhasil mengerjakan ketaatan/pekerjaan
baik/ibadah.
[1] Orang yang bahagia karena Allah.
[2] Orang bahagia karena dirinya sendiri.
Yang pertama adalah
bahagia yang dianjurkan dan berbuahkan pahala. Dia bahagia karena Allah telah
mentakdirkan dirinya mengerjakan taat. Setelah shalat misalnya, dia bahagia
sekali, kenapa? Karena Allah telah memberikan kekuatan kepada dirinya untuk
beribadah kepada Allah. Dia bersyukur karena Allah telah memberinya taufiq
untuk dekat kepada-Nya dan bersyukur menumpas rasa malas di dalam beribadah.
Dia juga bersyukur karena Allah telah menghindarkan dirinya
dari perbuatan maksiat yang dapat mendatangkan siksa. Ketika selesai
mengerjakan taat dan kita bersikap bahagia dengan model bahagia seperti ini,
efeknya adalah dia akan semakin bersyukur kepada Allah.
Mentang- mentang sudah berbuat baik/berhasil mengerjakan
ibadah yang sulit dilakukan oleh orang banyak lantas jumawa dan sombong.
Jangan! Sejatinya, semua perbuatan taat
itu adalah taufiq dan anugerah dari Allah, maka semestinya kita mensyukurinya.
Bukan malah pamer!
Bagaimana cara mensyukuri ibadah/perbuatan baik kita? Dengan
terus berbuat baik, tidak mudah puas, berbuat baik terus dan terus berbuat
baik. Ketika semua tahapan ini dilalui, perbuatan baik/ibadah kita akan
membuahkan pahala yang tak kunjung reda. Pahala terus dan terus berpahala. Kenapa
begitu? Karena perbuatan baik kita harus disyukuri, syukur kita juga perlu
disyukuri, dst. Semua ini adalah perbuatan pahala.
Selanjutnya, mari kita bahas model orang kedua yang bahagia sebab telah berbuat baik/beribadah karena
dirinya sendiri. Bukan karena Allah. Maksdnya, orang ini ketika selesai berbuat
baik, dia bangga kepada dirinya dan bahagia dengan hal itu. Dia lupa bahwa
sejatinya semuanya dari Allah.
Orang model kedua ini beranggapan bahwa dirinya adalah orang
hebat karena telah bisa selalu berbuat baik kepada semua orang/bisa selalu
beribadah. Dia mudah takjub terhadap pekerjaan baiknya, karena tidak semua orang
bisa berbuat seperti dirinya. ini
masalah besar dan sangat bahaya.
Bahaya yang paling rentan terjadi adalah meremehkan orang
lain yang tidak sehebat dirinya di dalam beribadah/berbuat baik. Terutama
ketika dia berhasil mengerjakan sesuatu yang membutuhkan usaha dan tenaga
besar, apabila tidak dikontrol dengan baik, ia mudah sombong.
Menurut al-Buthi, sikap seperti ini, dikategorikan syirik yang samar. Yaitu, menyekutukan
Allah dengan hal-hal lain. Kenapa bisa demikian? Sebab, sejatinya semua
pekerjaan baik/kesuksesan yang diraihnya adalah anugerah dri Alllah. Bukan
dirinya. semestinya dia bersyukur kepada-Nya.
Jadi, syirik itu bukan hanya menyembah berhala/patung,
menyekutukan Allah dari hak-hak yang menjadi miliknya juga bisa dikatakan
syirik. Syirik yang seperti ini, dikategorikan syirik khofi/samar,
konsekwensinya tidak lantas menyebabkan kafir/murtad, tapi berdosa saja.
Ayat ini yang bisa menjelaskan permasalahan syirik samar
tadi itu.
Dan sebahagian besar
dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan
Allah (dengan sembahan-sembahan lain). [QS. Yusuf: 106]
Jadi syirik khofi/samar itu adalah orang yang menganggap
dirinya sebagai sumber kehebatan dari setiap langkah dan pekerjaannya. Bukan
Allah. Sikap seperti ini, akan menghancurkan
amal baik yang kita lakukan. Meski beribadah sejatinya dia kosong,
ibadahnya sia-sia dan tak berpahala.
Rasulullah mengajarkan kita agar selalu berucap dengan
kalimat:
"Tidak ada daya
menghindar dari kemaksiatan dan tidak ada kekuatan di dalam berbuat kebaikan
kecuali dari Allah yang Maha Agung"
Jadi kesimpulannya, jika kita ditakdir berbuat baik maka
berbahagialah karena itu adalah anugerah dari Allah, bukan dari dirinya. Kesimpulan
ini berdasarkan ayat al-Quran berikut ini.
Katakanlah:
"Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka
bergembira. Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang
mereka kumpulkan". [QS Yunus: 58]
Semoga bermanfaat dan bersamaan dengan hidayah dari Allah.
Sumber :
Terima kasih telah membaca artikel Al Hikam 56 : Jangan Merasa Gembira Atas Perbuatan Taat, diijinkan untuk menyalin semua yang ada di wastripedia, untuk disebarluaskan.