Bismillaahirrahmaanirrahiim
Assalamualaikum wr. wb
Ada dua golongan manusia
#1, orang yang menempuh jalan suluk.
#2, golongan yang sudah wushul.
Untuk masing-masing, Allah menetapkan agar tidak menganggap
amal ibadahnya, serta melihat bagian haliyah dirinya. Mengapa? Alasan yang
tepat bagi orang yang menempuh jalan suluk, karena mereka belum mencapai
hakikat kejujuran bersama Allah. Sedangkan bagi orang yang telah wushul,
lantaran selain Allah telah sirna dari hati mereka, terbius keindahan
hadirat-Nya.
Sebelum kita lanjut, yuk cari tahu terlebih dahulu siapa
saja sih yang masuk kategori orang-orang yang wushul itu? Seseorang dianggap
wushul jika telah menempuh perjalanan panjang untuk proses penjernihan hati
(tazkiah).
Usaha untuk mencapai kejernihan ini membuatnya bersih dari
kabut-kabut yang menghalangi untuk sampai pada Allah. Kabut-kabut syahwat yang
bersarang di hatinya telah sirna oleh rasa yang begitu dahsyat sebagai proses
penjernihan hati tadi.
Sedang yang dimaksud orang menempuh suluk untuk hikmah ini,
adalah orang yang beriman dan dengan ikhlas menjalankan kewajiban-kewajiban. Berjuang
untuk menajalankan perintah serta menjauhi larangan, dengan tekat penuh agar
mencapai kejernihan hati.
Orang yang memasuki fase suluk, tidak diragukan lagi bahwa
amal ibadahnya terhalang oleh batu sandung yang mencegah untuk diterima. Oleh
karena itu, tidak layak baginya mengungkit-ngungkit amal, sedang dirinya terus
berjuang meraih kejernihan hati. Kalau mau jujur, ibadah orang yang masih tahapan
ini, baik salat, puasa haji dan sedekahnya penuh cacat dan bertabur kesalahan.
Maka bagi orang suluk, selain menghindari pamer dalam amal,
ia mesti beribadah dengan hati mawas penuh kekhawatiran amalnya tidak diterima.
Sebab perasaan mawas dan khawatir inilah biasanya yang akan mendorong seseorang
untuk totalitas untuk beribadah.
Perasaan takut ditolak oleh Allah, cenderung membuat
seseorang berusaha sekuat tenaga untuk mempersembahkan ibadah dengan manhaj
paripurna. Begitu halnya dengan orang wushul, mereka tidak menghitung-hitung
amalnya saat beribadah. Tidak perhitungan untuk amal ini lebih didasari oleh
perasaan sirna dari segala rintangan untuk sampai ke hadirat-Nya.
Namun sebelum lebih lanjut masuk untuk pembahasan ini, kita
mesti tahu satu hal. Bahwa, dari sekian banyak orang saleh adakah yang merasa
dirinya telah wushul/ma’rifat pada Allah? Jawabannya, tentu tidak ada. Sebab
semakin tinggi intensitas kema’rifatan seseorang, maka kecurigaan pada nafsu
akan semakin kuat.
Maka jika perhitungan amal telah sirna di hati seseorang
lantaran ia terbius kuatnya merasakan kehadiran-Nya, berarti ia telah wushul. Selain
itu tanda-tanda orang wushul bisa kita ketahui dari kuatnya seseorang memegang
teguh prinsip hukum syariat. Hampir tidak ditemui orang wushul/ma’rifat justru
meninggalkan salat atau ibadah pokok yang lain.
Bahkan level ibadah yang dilakukan oleh orang pada fase ini
melebihi yang lainnya, karena fokus pada tazkiatun nafsi (penjernihan hati).
Untuk kondisi ini, ia tenggelam di lautan kenikmatan ibadah, sehingga mendorong
keintiman dalam melakukan ketaatan.
Maka, perhatikan petuah salafus soleh berikut,"Jika kau dengar panggilan Allah,
bergegaslah menghadap-Nya!, dengan keyakinan pasti bisa, Jika telah usai
mengejarkan, maka berhentilah melihat usahamu, bahwa kau tidak berperan
apa-apa, tak lain semua ini anugerah-Nya."
Sumber :
Terima kasih telah membaca artikel Al Hikam 57 : Suluk Menggapai Wushul, diijinkan untuk menyalin semua yang ada di wastripedia, untuk disebarluaskan.