Bismillaahirrahmaanirrahiim
Assalamualaikum wr. wb
"Saat Allah menganugerahi taat dan Anda tidak menghitung ketaatan itu, merasa cukup dengan-Nya, berarti Allah melimpahkan nikmat lahir batin."
Ketaatan yang dimaksud Ibnu
Athaillah di sini adalah mengikuti syariat, berpegang teguh pada hukum halal,
haram serta kewajiban-kewajiban. Hal ini adalah satu-satunya manhaj dan cara
agar seseorang dapat mengarungi bahtera kehidupan menuju hadrah ilahiyah. Maka
tiada jalan menuju keridhaan Allah melainkan berpegang teguh pada perintah-Nya dan
tentu setelah mencapai keimanan yang paripurna.
Jika hamba melakukan taat, sesuai yang terkandung dalam Qur'an dan
Hadis Nabawi, seharusnya ia tidak berharap selain ampunan-Nya.
Orang beriman melakukan taat tanpa
merasa selamat dari murka dan jaminan Allah pasti ridha. Ketaatan tidak
dijadikan perantara meraih harapan. Dalil berikutnya ayat di bawah ini QS.
An-Nahl:50 “Mereka takut kepada Tuhan
mereka yang di atas mereka dan melaksanakan apa yang diperintahkan (kepada
mereka).”
Mereka melakukan ketaatan sesuai
perintah Allah, lalu bagaimana rasa takut kepada Allah akan muncul jika amal
justru berujung angan-harapan? Orang yang di balik taatnya menyelipkan angan dan
harapan, sejatinya ia belum melakukan kewajiban; syukur atas nikmat taat.
Lalu berikutnya dalil di bawah
ini QS. Thaha:82
“Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertaubat,
beriman, beramal saleh, kemudian tetap di jalan yang benar.”
Jika setiap yang bertaubat lalu
beriman dan beramal saleh, tapi dibalik amalnya terselip ingin ini-itu, kapan
ia tulus mengharap ampunan?
Lalu apa ada Hadis yang berbicara
dalam konteks ini? Tentu, banyak Hadis berbicara tentang bagaimana istighfar
Nabi mendentum tiada henti. Padahal kita tahu Nabi terjaga dari dosa-dosa yang
mewajibkan istighfar, namun Nabi sehari istighfar 70 kali, dalam riwayat lain,
100 kali.
Nabi sering istighfar karena
melihat ketaatan sebesar dan sebanyak apapun masih kalah besar dibanding
hak-hak ketuhanan yang harus ditunaikan.
Anda merasa aneh; banyak ayat
Qur'an menjelaskan Allah telah menyiapkan surga sebagai balasan bagi yang
beriman. Bagaimana kita sok lupa? Jawaban keanehan itu adalah kita perlu sadar
bahwa amal yang kita lakukan timbul dari Allah, surga sebagai balasannya juga
datang dari Allah.
Jika Anda sadar bahwa amal dan
balasannya, masing-masing adalah anugerah dan karunia dari-Nya, maka naluri
sebagai manusia, lebih- lebih naluri sebagai hamba merasa tidak pantas meminta
imbalan dari amal yang sejatinya bukan Anda yang melakukannya.
Jika Anda tahu amal saleh+pahala yang
didapat berdasar agungnya karunia, maka yang paling pantas dilakukan adalah
merasa faqir di hadapan-Nya. Seharusnya yang dilakukan hamba dalam rangka
mentahqiq-kan sifat penghambaan ada dua cara.
Pertama, mengijabahi semua perintah dan melaksanakan hukum yang
berlaku sesuai garis ketetapannya. Kedua,
menghadap Allah dengan tangan menengadah serta hati kosong dari semua harapan
selain berharap ampunan-maghfirahNya.
Ulama rabbani berwasiat:
"Perintah-Nya laksanakan, larangan-Nya dijauhi, jika benar-benar bisa
melakukan itu, percayalah semua itu dari Allah. Jika seseorang benar-benar bisa
mentahqiq-kan arti ubudiyah dengan 2 cara di atas, berarti Allah benar- benar
menyempurnakan nikmat lahir batin.
Nikmat lahir artinya Allah
memberi taufiq dan kemudahan untuk menjalani ketaatan serta melaksanakan hal
sesuai prinsip syariat-Nya. Nikmat batin artinya melupakan ketaatan itu sebagai
perbuatan yang muncul dari diri Anda hingga merasa tidak pantas menaruh harapan
di baliknya.
Sumber :
Pesantren Sidogiri@sidogiri
https://chirpstory.com/li/249170
Terima kasih telah membaca artikel Al Hikam 72 : Meraih Nikmat Lahir dan Bathin, diijinkan untuk menyalin semua yang ada di wastripedia, untuk disebarluaskan.