Bismillaahirrahmaanirrahiim
Assalamualaikum wr. wb
“Seorang Arif bukanlah orang yang menunjuk sesuatu, lalu ia merasa dekat dengan Allah. Tapi seorang Arif sesungguhnya adalah mereka yang pada dirinya tak nampak petunjuk apapun, karena pandangan mata dan hati mereka sudah hilang. Yang ada hanya Allah semata”.
Maksud “orang Arif” dalam hikmah
tadi ialah para hamba yang telah mengenal Allah secara dekat. Ia punya hubungan
spesial dengan Allah. Orang Arif adalah orang istimewa dan tak sama dengan
kebanyakan orang. Saat pertama kali dengar kata “Arif”, mungkin yang ada dalam
pikiran Anda adalah orang tua berjenggot putih, dengan rambut penuh uban.
Penampilannya sederhana, namun memancarkan kewibawaan. Itu imajinasi keliru.
Justru kehidupan mereka normal-normal saja, seperti manusia kebanyakan. Tak ada
yang aneh dari pola hidup mereka sehari-hari. Namun begitu, meski secara
lahiriyah kelihatannya normal-normal saja, tapi sebenarnya mereka istimewa.
Hati mereka selalu terikat pada Allah.
Orang-orang tipe ini bisa kita
teladani dari para Shahabat setia Rasulullah. Kehidupan beliau-beliau
senantiasa terpaut dengan Allah dan Rasulullah. Shahabat Abu Bakar as-Shiddiq
pernah mengaku begini: “Setiap kali aku melihat orang / benda, maka yang tampak
di mataku hanya Allah”.
Imam Fakhruddin ar-Razi berpesan:
“Jadikanlah aktivitas lahiriyahmu bersama manusia, tapi batin hatimu tetap
terpaut bersama Allah”.
Intinya, segala aktivitas yang
dilakukan oleh beliau-beliau adalah murni karena Allah. Bukan karena unsur
duniawi, apalagi syahwat manusiawi. Oke, sekarang gimana kalo kita bahas
keadaan orang-orang Arif itu? Bahwa karakter "Arifin" yang sempuna adalah
mereka yang merasakan kekosongan total. Tak merasakan diri sendiri dan segala
hal disekitarnya. Pandangan, pikiran dan perasaan hati mereka hilang. Diri
mereka telah dipenuhi cahaya Ilahi, yang tak mungkin terungkap dengan kata-kata.
Saat Arifin itu terkena musibah,
misalnya, maka yang ada dalam pikiran mereka pertama kali adalah “tawakkal”.
Begitu juga sebaliknya. Dikala mereka dapat limpahan nikmat, maka “syukur”
adalah perasaan pertama kali mereka. “Alhamdulillah” adalah ucapan pertama kali
mereka. Senang / susah, pujian / makian, rizki / musibah, kaya / miskin, atau
keadaan apapun itu, bagi para Arifin sama saja efeknya. Hambar...
Mengapa demikian? Karena tumpuan
utama mereka hanyalah Allah. Harta, nafsu syahwat dan duniawi sama sekali tak
mempengaruhi diri mereka. Psikologis macam ini yang oleh para Arifin disebut
sebagai “Tangga Cinta”. Cinta abadi tingkat tinggi, yang tak dimiliki orang-orang
biasa. Saat rasa cinta pada Allah mulai menguasai, maka hilanglah sifat
manusiawi mereka. Orang-orang di tingkatan ini biasanya tak kerasan hidup. Tak
kerasan karena ingin cepat-cepat berjumpa langsung dengan Allah. Kondisi
seperti inilah yang dialami oleh para Nabi, Rasul dan Waliyullah.
Seringkali untaian kata-kata
menakjubkan keluar dari lidah beliau-beliau pada saat yang tidak di duga-duga,
bahkan oleh nalar sehat sekalipun. Menjelang wafat, misalnya, Rasulullah
berucap dengan muka berseri-seri begini: “Ya Allah, semoga aku lekas berjumpa
dengan-Mu Tuhanku”.
Kata-kata Shahabat Mu’adz bin
Jabal lebih memilukan lagi. Saat sakaratul-maut, beliau merasakan sakit yang
luar biasa hingga pingsan. Ketika bangun, beliau malah berucap begini: “Ya
Allah, lekas cekiklah aku. Engkau Maha Tahu, ya Allah, jika hatiku begitu
mencintai-Mu”.
Atau cerita Shahabat ‘Imran bin
Hushain, yang selama 30 tahun terbaring lemas diatas ranjang lantaran menderita
penyakit lumpuh total. Saat seorang temannya menangis karena tak tega melihat
kondisinya, ‘Imran berkata: “Jangan menangis! Aku senang dengan takdir Allah
ini”
Subhanallah... Sungguh indah tipe
cinta seperti beliau-beliau itu. Meski kita tak bisa seperti beliau-beliau,
minimal kita satu strip dibawahnya. Maka, intinya adalah gapailah cinta Allah
itu dengan banyak ibadah, dzikir dan berbuat baik. Niatannya murni karena
mengharap ridha Allah.
Jika orang-orang yang disebut
namanya mulai awal tadi bisa melakukannya, mengapa kita juga tidak? Mencapai
tingkatan "Arifin" itu tak sulit. Jika kita berusaha terus-menerus,
bukan tak mustahil kita juga akan sampai ke tingkatan "Tangga Cinta"
tertinggi itu.
Sumber :
Pesantren Sidogiri@sidogiri
https://chirpstory.com/li/249909
Terima kasih telah membaca artikel Al Hikam 75 : Menggapai Cinta Tertinggi Allah, diijinkan untuk menyalin semua yang ada di wastripedia, untuk disebarluaskan.